Rekonstruksi Jejak Peradaban IsIam Kampung Tua pulau Ambatu Wilayah Kesultanan Bacan

Kuburan atau jere di jadikan kramat dengan meminta sesuatu dan ketika memotong pohon atau benda yang di anggap ada penghuni harus meminta izin terlebih dahulu kepada penunggu pohon, karena angapan kalau tidak meminta izin akan menanggung konsekuensinya seperti sakit dan lain - lain.
Masyarakat pulau ambatu jauh sebelum sudah menganut paham animisme dan dinamisme seperti kepercayaan batu hitam yang di anggap sakral sehingga pulau ambatu di berkati dengan sebutan Makkah Ici artinya Makkah kecil, menurut riwayat sejarah lisan para tetua bahwa batu hitam terjadi perubahan warna dan animasi akibat dari perubahan iklim sehingga lama kemudian hilang tanpa jejak.
Akulturasi kebudayaan IsIam lewat ziarah kubur/ jere masyarakat pulau ambatu, proses pelaksanaan ziara kubur atau dalam bahasa lokal tagi kubu, masyarakat yang melaksanakan ziarah kubur harus mempersiapkan pondak atau daun pundak, air putih yang di taruh di botol dan di do'akan oleh orang tua tua atau orang yang dipercayai memiliki hubungan supranatural dengan roh leluhur dan kepercayaan ini menjadi turun temurun.
Selain kepercayaan ini ada juga tradisi yang dilakukan adalah koleli kie atau tawaf kampung ini menjadi ritual oleh para leluhur untuk mengambil Barakat dengan melindungi kampung tradisi ini menjadi turun temurun sampai ke anak cucunya, ada juga tradisi yang lain seperti mandi Shafar.
Ketika jumlah penduduk pulau ambatu makin banyak akhirnya mereka pindah ke kampung sebelah di pulau mandioli utara yaitu Pelita pada tahun 1976 sampai sekarang dan tradisi yang ditinggalkan di pulau ambatu masih digunakan oleh anak cucunya, yang ditinggalkan di pulau ambatu atau kampung tua sekarang hanyalah bongkahan artefak mesjid, sumur tua, makam/jere para leluhur.
Makam makam tersebut sebagai artefak fitur yang dapat memberikan gambaran bagaimana perkembangan akulturasi dan elemen-elemen kebudayaan lokal yang masih bertahan, makam makam ini juga memiliki marga seperti Al Gafar, Al Bugis, A Barmawi dll. makam yang bertajuk merupakan keberlanjutan tradisi yang menggelitik.
Hal ini menunjukkan bahwa IsIam sangat adaptif terhadap unsur-unsur lokal, integrasi IsIam dan budaya leluhur tampaknya merupakan kepercayaan yang sangat kuat pada masyarakat pulau ambatu dan masyarakat desa pelita oleh karena itu, penerimaan IsIam tanpa menegasikan kepercayaan terhadap religi lama yakni kepercayaan terhadap arwah leluhur yang hidup jauh sebelumnya di pulau ambatu kampung tua.
Bekas dan puing-puing peninggalan masa lalu dapat menimbulkan hasrat keinginan tahuan untuk selalu di catat dan diingat. jika saja pertanyaan atau wawasan baru yang menyelinap dalam sistem kesedaran, rekonstruksi dari pristiwa itupun selalu di ulang, andaikan tidak seluruh proses dan gejolak yang terjadi itu sempat terekam ilmiah, berbagai disiplin ilmiah, masih mungkin juga mengisi lobang lobang informasi peristiwa yang menjadi perhatian kita.
Memang rekonstruksi sejarah biasa memancing perdebatan , semakin penting peristiwa itu dirasakan, semakin besar kemungkinannya untuk memancing perdebatan. Bukti apa yang bisa dinilai Sahih tentang peristiwa yang di rekonstruksi dalam setiap Untaian kata kata. Apakah rekonstruksi peristiwa itu boleh dikatakan refleksi yang sesungguhnya dari peristiwa yang telah berlalu.!
Semakin penting peristiwa yang di rekonstruksi dalam sistem kesadaran masyarakat maka semakin tajam pula penilaian atas tingkat kebenaran yang di ungkapkan, semakin fundamental makna dari jawaban yang diberikan oleh hasil rekonstruksi maka semakin tinggi pula kemungkinan perdebatan yang dipancingnya, oleh sebab itu penulis memberikan judul dari tulisan ini dengan Rekonstruksi Asal-usul dan Rekam Jejak Peradaban IsIam Kampung Tua pulau Ambatu Wilayah Kesultanan Bacan. (Sabtu 25 Mei 2024)(*)
Opini ini sudah terbit dikoran Malut Post edisi, Kamis 30 Mei 2024.
Komentar