Tanah Rakyat atau Tanah Negara

Konflik atau kasus pemanfaatan sumber daya alam, seperti konflik agrarian (perkebunan) sebagaimana yang dihadapi masyarakat selama ini juga konflik pemanfaatan air, semestinya dapat diminimalisir apabila para pemimpin atau penguasa pusat dan daerah amanah terhadap konstitusi negara dan paham serta merujuk asas legal pemanfaatan sumber daya alam. Sayangnya penyelesaian atas konflik-konflik agrarian nampak sering tidak berpihak pada rakyat yang hanya dengan dalih kepentingan umum atau bangsa.
Dari hari ke hari, intensitas fenomena konflik agraria Nampak semakin tinggi seiring makin tingginya tekanan kebutuhan akan lahan untuk berbagai macam pemanfaatan. Sementara itu, kebijakan dalam pemenuhan kebutuhan akan lahan sangat jarang mempertimbangkan aspek manfaat mudarat bagi kepentingan rakyat banyak.
Seringkali, pembangunan meninggalkan permasalahan dan penderitaan rakyat. Pada hal jika kebijakan yang diambil berpijak dalam konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) mestinya hal itu tidak terjadi, paling tidak bisa diminimalisasi.
Paradigma pembangunan berkelanjutan mempertimbangkan tiga aspek, yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Keberhasilan pembangunan bidang ekonomi harus berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan sosial dan ramah lingkungan.
Demikian juga, keberhasilan pembangunan bidang sosial harus dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan ramah lingkungan serta sebaliknya. Jadi, kalau pembangunan bidang ekonomi yang telah dilaksanakan saat ini banyak menyisahkan permasalahan sosial dan lingkungan serta mengakibatkan penderitaan rakyat, maka hal itu bertentangan, baik dengan amanah Allah Swt. Maupun konstitusi negara.
Dinamika ini dibuat dalam situasi di mana banyak orang Indonesia sudah terbiasa dan dibiasakan memenuhi kebutuhan hidupnya melalui transaksi jual belih. Semua cenderung menganggap transaksi jual belih itu normal dan alamiah. Lebih dari itu, untuk berhasil memenuhi kepentingan memperoleh pendapatan atau keuntungan, cara jual belih merupakan sesuatu yang sudah lazim ditempuh.
Indonesia bukan hanya menganut politik pintu terbuka terhadap pengaruh pasar internasional. Lebih dari itu, Indonesia menganut politik rumah terbuka, yakni semua bisa dimasuki pengaruh kekuatan pasar internasional. Sekarang ini kita tidak memiliki rujukan yang otoritatif mengenai batas apa-apa yang boleh atau tidak boleh diperjual-belikan bukanlah demikian?.
Berbeda dengan mereka yang menganggap pasar sebagai kesempatan, di sini hendak menunjukkan sisi pasar yang dianggap biasa, normal, alamiah bahkan sudah seharusnya, sekaligus juga mengenai cara bagaimana perusahaan-perusahaan raksasa memperoleh modal untuk memproduksi komoditas atau barang-barang dagangannya.
Hal ini jarang sekali dibicarakan dan dipikirkan sungguh-sungguh, terutama dalam hubungannya dengan masa depan tanah, hutan air rakyat kita.(*)
Opini ini sudah terbit dikoran Malut Post edisi, Selasa 28 Mei 2024.
Komentar