Site icon MalutPost.com

Kebijakan Komersialisasi terhadap Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia

Oleh: Suratman S. Naim
(Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan, Unibrah Tidore)

Saat ini, kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi telah menghubungkan produksi dan produktivitas dengan pengetahuan, sehingga peningkatan tenaga kerja berkualitas di semua sektor lapangan kerja sangat dibutuhkan.

Pendidikan tinggi sangat penting untuk membekali keterampilan peserta didik untuk bersaing dalam persaingan kerja, disini pendidikan tinggi memiliki peran esensial dalam masyarakat dan perekonomian.

Pendidikan tinggi merupakan tingkat pendidikan dengan high-level methodology pengetahuan yang memungkinkan peserta didik menghasilkan, mengembangkan, dan mengaplikasikan pengetahuan akademis yang sistematis di perguruan tinggi.

Kita tidak bisa pungkiri bahwa selama beberapa tahun terakhir pemerintah telah memperkenalkan reformasi politik-sosial-ekonomi untuk mengubah perekonomian terencana menjadi perekonomian berorientasi pasar.

Pemerintah sadar bahwa pengembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak mungkin terjadi tanpa adanya pengembangan sistem pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Sehingga, pemerintah mulai menempuh berbagai strategi, termasuk komersialisasi (pemasaran) pendidikan tinggi.

Perlu kita renungkan bahwa di era sekarang ketika segala sesuatunya berkisar pada perekonomian, maka komersialisasi tidak dapat dihindari untuk meningkatkan efisiensi dan untuk memenuhi beragam permintaan konsumen.

Komersialisasi menjadi motor penggerak ketika layanan atau barang publik yang ada tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan permintaan, atau ketika pemerintah tidak mampu mengalokasikan lebih banyak sumber daya publik untuk jasa atau barang.

Singkatnya, komersialisasi adalah jalan keluar untuk memenuhi peningkatan permintaan dengan standar kepuasan yang lebih tinggi. Atas dasar penyampaian layanan publik, strategi komersialisasi diperkenalkan di pendidikan tinggi untuk mengurangi kegiatan negara dengan mengalihkan tanggung jawab ke sektor non-pemerintah atau dengan mengubah sifat keterlibatan pemerintah.

Akibatnya, hampir semua negara di dunia telah mengadopsi strategi komersialisasi pendidikan sampai batas tertentu untuk mengubah sektor publik menjadi lebih efisien dan efektif.

Pemerintah kita sepertinya telah mengadopsi strategi komersialisasi terhadap sistem pendidikan tinggi untuk mengurangi keterlibatan mereka dengan mengalihkan tanggung jawab ke sektor non-pemerintah.

Beberapa inisiatif yang diambil oleh pemerintah untuk pengembangan pendidikan tinggi, yaitu memastikan penyediaan pendidikan, pengelolaan perguruan tinggi, investasi untuk pertumbuhan pendidikan tinggi, perekrutan dan penempatan kerja bagi lulusan dan pemberian otonomi kepada perguruan tinggi.

Tujuan utama dari inisiatif tersebut untuk membangun sistem baru, di mana perencanaan dan manajemen makro berada di tangan pemerintah, sementara perguruan tinggi diharuskan untuk mengikuti hukum dan menikmati kemandirian dalam menyediakan pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pasar.

Sebenarnya, harapan besar Pemerintah Indonesia dari adopsi strategi komersialisasi yaitu, untuk mengatasi konsekuensi pembangunan ekonomi dan tantangan-tantangannya.

(1) perluasan pendidikan tinggi diharapkan mempunyai dampak langsung terhadap perekonomian dan luaran sumber daya manusia (SDM) yang terampil untuk pasar.

(2) perluasan pendaftaran akan menarik lebih banyak biaya sekolah yang pada akhirnya turut menutupi kekurangan biaya perguruan tinggi.

(3) peningkatan kaum milenial di perguruan tinggi akan memberikan kesempatan kerja yang dapat menekan angka pengangguran. Hal ini akan memungkinkan bangsa Indonesia untuk bersaing dalam lingkungan globalisasi dan perekonomian dunia yang berbasis pengetahuan dan teknologi.

Alih-alih mencapai tujuan dari strategi yang dicita-citakan tersebut, pemerintah justru kalang kabut atas persoalan yang menjadi polemik pendidikan tinggi saat ini.

Baca Halaman Selanjutnya..

Beberapa harapan seperti menciptakan kesejahteraan, menghasilkan luaran unggul, menutupi kekurangan biaya dan menekan angka pengangguran sepertinya masih jauh panggang dari api. Sebaliknya, polemik besarnya biaya kuliah yang terus berulang menjadi presenden buruk dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi kita.

Pemerintah dapat dikatakan gagal dalam merealisasikan strategi adopsi ala Inggis dan Amerika tersebut, karena kondisi sosio-ekonomi Indonesia direkonstruksi untuk pertumbuhan yang begitu pesat, sehingga menghasilkan hasil yang tidak diinginkan dan menimbulkan dampak sebaliknya pada masyarakat.

(1) komersialisasi telah meningkatkan jumlah lulusan di tingkat perguruan tinggi, namun kapasitas industri dan pasar di Indonesia secara keseluruhan belum mampu menyerap dan menampung lulusan perguruan tinggi dalam jumlah besar. Jadi, strategi untuk memperluas jumlah lulusan perguruan tinggi tanpa menciptakan lapangan kerja yang memadai justru meningkatkan angka pengangguran.

(2) komersialisasi pendidikan tinggi telah mengubah seluruh sistem pendidikan menjadi sistem berbasis kelas dan telah menciptakan monopoli besar-besaran terhadap sektor swasta.

(3) pemberlakuan struktur biaya yang tinggi, di satu sisi telah menghalangi sejumlah besar mahasiswa yang layak dan memenuhi syarat untuk diterima di perguruan tinggi negeri (PTN), karena kekurangan biaya yang besar, sementara di sisi lain memberikan kesempatan kepada perguruan tinggi swasta (PTS) untuk memanfaatkan situasi tersebut.

(4) pemberlakuan struktur biaya yang tinggi telah menimbulkan kesenjangan sosial-ekonomi di seluruh masyarakat, di mana komersialisasi pendidikan tinggi semakin memperbesar kesenjangan yang sudah ada antara kelompok kaya dan kelompok miskin di masyarakat karena meroketnya biaya kuliah.

Mungkin benar yang disampaikan Goenawan Mohamad bahwa “betapa mahalnya ongkos pendidikan sekolah bagi sebuah Negara miskin, tapi juga betapa omong kosongnya sistem sekolah itu untuk menghilangkan jurang kemiskinan tersebut”. Saat ini, mahalnya biaya pendidikan dan sistem pendidikannya tidak bisa mensejahterakan masyarakatnya menjadi persoalan urgen bangsa ini.

Prinsipnya pendidikan memiliki korelasi yang kuat dengan perkembangan sosio-ekonomi suatu Negara, karena masyarakat dengan tingkat pendidikan tingginya lebih tinggi memiliki lebih banyak peluang untuk berkembang di tingkat ekonomi dan sosial dibandingkan dengan negara-negara yang tingkat pendidikan tingginya lebih rendah.

Statistik Pendidikan Indonesia (2023), menunjukkan capaian Angka Partisipasi Kasar (APK) di perguruan tinggi sebesar 31,45 persen. APK tersebut masih jauh dari target sesuai Renstra Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020-2024 sebesar 37,63 persen.

Menurut teori Pembangunan Modernisasi, jika lebih dari 15 persen total penduduk suatu negara memiliki akses yang sama terhadap pendidikan tinggi maka negara tersebut dapat menetapkan tujuan pembangunan nasionalnya. Berdasarkan Statistik Pendidikan Indonesia (2023), penduduk usia 15 tahun ke atas yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi di perguruan tinggi hanya sebesar 10,15 persen.

Tantangan dunia pendidikan Indonesia saat ini adalah keterbatasan ekonomi khususnya dalam pemerataan pendidikan. Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk keluar dari tantangan tersebut.

Memang kebijakan komersialisasi pendidikan tinggi telah membuahkan hasil di Inggris dan Amerika, namun kebijakan ini perlu dipertimbangkan kembali di Indonesia, karena beberapa faktor, seperti ukuran populasi, pola pemerintahan, demografi, dan keadaan sosio-ekonomi masyarakatnya.

Terlepas dari apapun kebijakan pemerintah nantinya, semua kalangan masyarakat harusnya memperoleh akses yang sama terhadap pendidikan tinggi. Sebagai penutup pesan dari penulis Amerika, Khaled Hosseini sangat menyentuh “pernikahan mungkin bisa menunggu, namun pendidikan tidak bisa”.(*)

Opini ini sudah terbit dikoran Malut Post edisi, Selasa 28 Mei 2024.

Exit mobile version