Polemik UKT dan Pendidikan Tersier, Petaka bagi Bangsa

Setiap pergantian mentri bukan memperbarui kondisi yang meresahkan tersebut, akan tetapi mala memperkeruh suasana. Seperti baru-baru ini kita kembali dikagetkan dengan sebuah uangkapan yang dikemukakan oleh Sekertaris Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknollogi Kemendikbudristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie.

Saat menanggapi tuntuntan mahasiswa tentang kenaikan UKT dengan berdali bahwa pendidikan tinggi adalah Tertiary Education (Pendidikan Tersier) jadi bukan wajib belajar, artinya bahwa tidak semua lulusan SMA, SMK, dan sederajat itu wajib masuk perguruan tinggi, sifatnya adalah sebuah pilihan kalua ingin mengembangkan minat mereka dalam bidang tertentu.

Hal ini tentu meresahkan hati kita secara bersama dan ini merupakan sebuah petaka bagi bangsa kedepan, karena menganggap remeh tentang pendidikan seakan-akan pihak tersebut lepas tangan dengan kondisi pendidikan saat ini. Dan sebagai pejabat negara tidak seharusnya melontarkan pernyataan demikian karena sangat bertentangan dengan tanggungjawab negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pernyataan di atas secara normatif tidak salah kerena wajib pendidikan hanya 12 tahun , tapi sejatinya Pendidikan 12 tahun adalah pendidikan paling dasar yang hanya bisa memberantas buta huruf bukan untuk meningkatkan kualitas anak bangsa dan ini adalah sebuah fakta di bangs aini bahwa siswa/siswi yang hanya lulus SMA dan sederajat sangat sedikit yang puanya kapasitas dan kualitas yang mumpuni. Bila kita terus berpegang dengan realitas dan konsep tersebut maka yakin dan percaya kita bisa menjadi negara terbelakang di dunia.

Disatu sisi ada beberapa pihak yang merasa kawatir dengan jumlah sarjana kita seperti yang dikatakan oleh Presiden Jokowi Dodo bahwa ia merasa khawatir dengan jumlah sarjana dan magister di Indonesia yang masih sangat kurang, hal ini membuktikan bahwa negara ini masi sangat butuh orang-orang yang lahir dari perguruan tinggi.

Keluhan diatas seharusnya memberikan warning bagi kita untuk terus mendorong generasi kita untuk menambah kualitas pendidikan mereka dengan semua warga harus bisa mengenyam pendidikan tidak hanya terbatas pada jenjang SMA, SMK, dan sederajat saja, akan tetapi mereka juga bisa melanjutkan keperguruan tinggi, karena realitas membuktikan kepada kita bahwa untuk batas SMA, SMK dan sederajat saja tidak mampu menjamin masyarakat di bangs ini menjadi masyarakat yang berkulitas dan bersaing secara global.

Perlu adanya upaya dari pihak terkait terutama pemerinta agar bisa melanjutkan anak bangsa untuk menjejaki pendidikian ke tinggkatan yang lebih tinggi, sehingga tidak bisa kita membiarkan bahwa itu adalah kemauan sendiri seharusnya memberikan mereka dorongan serta semangat.

Bangsa-bangsa lain terus berlomba-lomba untuk meningkatkan kapasitas pendidikan mereka dengan mencetak sebanyak-banyaknya sarjana, magister, doktor serta profesor sedangkan kita di Indonesia seakan merasa reme menganggap itu bukan satu hal yang wajib.
Pernyataan diatas juga tentu sangat bertentangan dengan upaya pemerinta dalam menghadapai tantangan bonus demografi yang akan datang, serta cita-cita menjadikan Indonesia sebagai negara emas di 2045, tentunya untuk menjemput bonus demografi dan cita-cita tersebut harusnya ada upaya keras untuk menggembangkan kapasitas dan kualitas generasi di bangsa ini.

Jika kita membuka data Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker), BPS mendata, pada Agustus 2023, tercatat 22,25 persen dari 44,7 juta anak muda golongan Gen Z tidak bekerja, menjalani pendidikan dan mendapat pelatihan (not in employment, education, and training/NEET). "Dari 44,47 juta orang anak muda (usia 15 hingga 24 tahun) di Indonesia pada periode Agustus 2023, sekitar 22,25 persen termasuk dalam kategori NEET atau tidak bersekolah, tidak bekerja, juga tidak sedang mengikuti pelatihan.

Hal ini tentunya menjadi tantangan terbesar kita kedepan dalam menghadapi bonus demoggarfi, karena setengah dari generasi muda kita masih belum disentuh dengan bimbingan serta edukasi yang mumpuni dan berkualitas dan tentunya kedepan akan menjadi bumerang bagi mereka untuk bersaing dalam dunia global.

Kita harus berkaca pada negara-negara yang telah berhasil memanfaatkan bonus demografi seperti Jepang, Korea, dan China. Keberhasilan mereka dipengaruhi oleh program pemerintah yang berfokus pada peningkatan kualitas sumber daya manusia, terutama kelompok usia muda melalui berbagai sektor, di antaranya sektor pekerjaan dan pendidikan.

Kita semua yakin bahwa pendidikan dibangsa ini masi sangat jauh dari apa yang diharpkan secara bersama olehnya itu jangan biarkan hal diatas terus dimarjinalkan oleh orang-orang tertentu yang ingin melegitimasi kepentingan mereka dan mengorbanka apa yang menjadi kewajiban dan hajat hidup masyarakat banyak.(*)

Selanjutnya 1 2

Komentar

Loading...