Pola Pengarahan Tenaga Kerja Abad 17 di Maluku Utara

Oleh: Hasan M. Thaib
(Mahasiswa Yogyakarta)

Pembahasan monopoli perdagangan rempah-rempah abad 17 di wilayah Governement der Molukken adalah wacana yang mengglorifikasi peperangan kolonial Belanda dengan pihak Kesultanan. Ada kontras nilai disini. Pertama, rempah-rempah sebagai komoditas merupakan pengarahan kerja berlebih dari kelompok pekerja — yang melaluinya sistem upeti bekerja.

Pengambilan surplus melalui sistem upeti yang berlangsung di Halmahera Barat dan Halmahera Timur dilakukan oleh pejabat kedaton, pedagang asing, dan Bobato. Selain penyerahan hasil-hasil bumi, kelompok pekerja yang hidup di negeri maupun di distrik di kedua wilayah tersebut juga diwajibkan menyerahkan tenaga kerja. Jadi, sistem upeti yang bekerja dan berlangsung di Halmahera Barat dan Halmahera Timur adalah penyerahan hasil-hasil bumi + tenaga kerja.

Kedua, perdagangan rempah — baik yang dilakukan melalui sistem monopoli VOC maupun sistem upeti kedaton — tidak mempengaruhi produktivitas kerja. Dengan lain perkataan, inflasi dan defaluasi harga rempah tidak berpengaruh pada kondisi ekonomi kelompok pekerja. Sebaliknya, inflasi dan defaluasi mempengaruhi juga menentukan sistem politik kesultanan dengan VOC.

Sehingga kita dapat melayangkan hipotetis bahwa peperangan “mengusir” penjajah dengan alasan menghentikan sistem monopoli VOC merupakan cara untuk mempertahankan status quo kesultanan. Status quo dalam konteks ini adalah menjaga stabilitas politik sistem upeti kedaton.

Dalam beberapa kasus di pedesaan Jawa, penyerahan hasil-hasil bumi yang semakin tinggi mengakibatkan migrasi dan perlawanan petani terhadap tuan tanah. Kasus yang sama juga terjadi di Halmahera Timur pada tahun 1817. Ketika itu, Mohammad Thaher menaikkan jumlah upeti sehingga menyebabkan sebagian besar penduduk Halmahera Timur mengungsi ke Seram Utara. Mereka dipimpin oleh para Sangaji yang sebelumnya digeser perannya sebagai pedagang di Halmahera Timur oleh sejumlah pedagang Arab yang di tempatkan Nuku pada tahun 1796.

Gejolak politik antara sangaji dengan pedagang Arab, juga kelompok pekerja dengan Mohammad Thaher berdampak pada produktivitas kerja. Karena dalam sistem upeti, pengambilan surplus produk (rempah dan bahan-bahan makanan) yang dihasilkan dari kelebihan kerja (surplus labour) pasca nilai yang dibutuhkan pekerja (necessary product) dilakukan melalui politik, keturunan, dan kebudayaan — sesuatu yang non-ekonomi. Itu sebabnya kenaikan dan atau penurunan harga komoditas rempah tidak berpengaruh pada produktivitas kerja, melainkan kondisi alam dan politik penguasaan wilayah itu sendiri.

Politik penguasaan wilayah dalam pengaturan kegiatan produksi, baik pengaturan secara sosial maupun perkembangan dan perluasan alat-alat kerja serta objek kerja merupakan instrumen pengambilan surplus dari pekerja. Dalam konteks perdagangan rempah, penguasaan wilayah Halmahera Timur (oleh kesultanan Tidore) dan Halmahera Barat (oleh kesultanan Ternate) menjadi vital untuk menerapkan pengambilan surplus melalui sistem upeti dari pekerja.

Pertanyaan mendasar terkait dengan pengambilan surplus melalui sistem upeti dari pekerja yang dilakukan oleh pejabat kedaton, pedagang Arab, dan Bobato di Halmahera Timur dan Halmahera Barat adalah: digunakan untuk apa surplus yang diambil tersebut; apakah dikembalikan kepada masyarakat pekerja atau ditarik untuk kelompok tertentu.(*)

Opini ini sudah terbit dikoran Malut Post edisi, Senin 27 Mei 2024.

Komentar

Loading...