Orientasi Identitas Gender

Diagnosis Pernikahan Sesama Jenis

Diagnosis Orientasi Identitas Gender
Kejadian menciptakan gelombang diskusi dan perdebatan di masyarakat lokal maupun di dunia maya. Banyak yang terkejut dengan fakta bahwa pernikahan sesama jenis bisa terjadi di sebuah desa kecil di pedalaman Maluku Utara. Namun, dibalik kejutan tersebut, muncul pula beberapa pertanyaan dan refleksi mendalam tentang bagaimana pandangan kita semua terhadap isu LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) di Indonesia.

Pertama-tama, kehadiran pernikahan sesama jenis di Desa Sekli menggugah kesadaran kita sebagai manusia yang bertuhan akan pentingnya memahami orientasi seksual dan identitas gender dalam kehidupan manusia di dunia ini yang tak lepas dari pengawasan tuhan bukan sebaliknya cara manusia melupakan tuhan.

Ini menunjukkan bahwa keberagaman seksual dan identitas gender tidak bisa diabaikan, dan setiap individu memiliki hak yang sama untuk mencintai tetapi perlu adanya keseimbangan nilai aksiologi, adab, etik dan estetik tentunya, dalam hubungan manusia satu dengan manusia lainnya, dan juga manusia dengan sang khalik (Tuhan).

Kejadian ini membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang perlunya ketegasan Adab, etik dan moral social yang dianggap baik untuk diterapkan secara de facto dan de jure dalam pendekatan yuridis maupun religiutas bagi meraka yang dianggap menyimpang dalam tatan kehidupan individu, dan social masyarakat.

Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran kolektif melalui nilai dan tatanan kehidupan yang bukan hanya menjujung nilai hak asasi manusia yang bebas dan tak beradab, tetapi juga upaya bersama dari seluruh masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang inklusif, menjunjung tinggi adab, adat dan istiadat serta nilai kearifan local yang tumbuh dalam lingkungan masyarakat setempat, bukan mala sebaliknya menggeser nilai etika moral dan filosofi agama.

Selain itu, pernikahan sesama jenis di Desa Sekli juga memicu pertanyaan tentang peran dan tanggung jawab pemerintah dalam melindungi hak-hak asasi manusia bagi semua warganya tetapi tidak mengabaikan etika moral kehidupan berbasis nilai agama secara epistimologi.

Terlepas dari kontroversi dan perdebatan yang timbul, pernikahan sesama jenis di Desa Sekli merupakan sebuah tonggak sejarah yang mengingatkan kita akan pentingnya menghormati dan menghargai adat dan budaya serta harkat dan martabat yang telah lama rawat sesui nilai ketuhanan dan kemanusiaan yang beradab.

Dalam pidato di Templeton Prize pada tahun 1983, Aleksandr Solzhenitsyn memberikan pernyataan yang sahih atas krisis yang melanda negara-negara Barat saat itu, termasuk meluasnya kemurtadan, perpecahan keluarga, hilangnya tujuan bersama, erotomania, penghapusan batasan antara laki-laki dan perempuan, dan semangat untuk saling bersosialisasi sehingga menimbulkan kehancuran yang menyalahi kesucian hidup manusia.

Karena itu manusia tidak lagi peduli atas perintah tuhan bahkan telah melupakan Tuhan. Kita harus memahami bagaimana dan mengapa mereka mengabaikan perintah Tuhan, jika kita telusuri dan mendiagnosis penyakit ini merupakan bagian dari penyimpangan gender yang tentunya tidak harus dibiarkan.(*)

Opini ini sudah terbit dikoran Malut Post edisi, Sabtu 25 Mei 2024.

Selanjutnya 1 2

Komentar

Loading...