Culture Ngopi Dari Interaksi Sampai Transformasi Sosial

Budaya Ngopi.
Disini jelas, budaya “ngopi” mulai bergeser baik secara nilai fungsi menjadi nilai simbolik, yang tadinya kedai kopi atau kafe adalah selain terjalinnya silaturahmi antar sesama, sebagai ruang diskusi dengan berbagai keterbukaan pikiran, bahkan memiliki peran penting dalam era revolusi berbagai negara. Kini, banyak yang menganggap kedai kopi atau kafe sebatas bersenang-senang dengan teman sebaya hingga menghabiskan waktu cukup lama di kafe dengan tidak membawa kesan secara produktif.
Mengutip dari Jurnal Sosioteknologi (Lina Meilinawati, 2020) menyebut orang-orang yang datang ke kafe atau kedai kopi itu untuk melakukan pekerjaan, bukan untuk menikmati kopi. Jadi, mereka tak memerhatikan aspek kopi pada saat mereka datang ke kafe. yang datang ke kedai atau kafe tidak mempersoalkan jenis kopi, dari mana kopi itu berasal, dan tidak perhatian juga pada cita rasa kopi.
"Kafe adalah tempat untuk bersosialisasi, mendapatkan suasana berbeda (dari kantor atau tempat belajar) untuk menyelesaikan tugas dan pekerjaan. Ngopi adalah perilaku sosial untuk membangun atau mengukuhkan identitas seseorang dalam lingkungannya," tulis jurnal tersebut.
Kita tidak dapat menolak bagaimana media sosial memiliki dampak besar pada kehidupan manusia, dan kaum milenial sangat menghargai kesempatan yang diberikannya untuk menjadi kreatif dan ekspresif. Di media sosial, mereka lebih mementingkan tempat yang indah dan unik daripada rasa kopinya, mencari tempat yang indah atau tempat yang Instagramable untuk mengambil foto dan mempostingnya. Lain halnya dengan para pecinta kopi yang biasanya tidak begitu memperdulikan tempat kedai tersebut karena mereka mementingkan cita rasa dari kopi yang disajikan.
Pemaknaan Kedai Kopi Lewat Vernacular Semiotic.
Masyarakat kota dengan konsumsi kapitalnya kemudian mampu membangun makna-makna tertentu dari aktivitas meminum kopi. Suatu ruang dirancang untuk dapat memenuhi kebutuhan para penghuninya. Aktivitas meminum kopi di warung pinggir jalan adalah bukti bahwa meminum kopi menjadi kebutuhan tiap orang, sehingga keberadaannya ada dimana-mana.
Lain halnya pada era post-modern di wilayah perkotaan. Kedai kopi gelombang ketiga menjawab kebutuhan masyarakat kota yang gemar mengonsumsi makna-makna tertentu dari aktivitas meminum kopi. Bahwa meminum kopi tidak hanya melibatkan kebutuhan dosis kafein belaka, melainkan adalah kegiatan psikis yang mengukuhkan identitas individu atau kelompok didalamnya. (Abduh Rafif, 2020).
Lewat ruang visual kedai kopi tidak hanya mencitrakan bahwa kedai kopi mereka unik, tetapi pelanggan yang datang akan merasa bahwa mereka juga termasuk dalam golongan tertentu yang tidak dapat disamakan dengan individu/kelompok lainnya. Perasaan ini juga membawa pada kesimpulan bahwa yang dikonsumsi oleh pelanggan adalah kesan dan makna dalam ruang kedai kopi lewat tanda visual. Hal ini khas dengan masyarakat urban dan gaya hidup post-modern.
Konsep kedai kopi third wave yang kritis terhadap olahan kopi tidak diindahkan oleh para pengunjung. Justru, pengujung ingin terlihat seakan-akan peduli terhadap olahan kopi dengan datang ke kedai kopi tersebut. Hal ini tentunya sangat erat dengan gaya hidup post-modern yang seringkali menyimbolkan barang-barang consumer goods yang punya makna lebih kepada individu atas dirinya ataupun golongan kelompok apa dia berasal.
Faktor yang membentuk budaya ngopi demikian diantaranya generasi millenial mempunyai persepsi bahwa kafe atau tempat ngopi memiliki sebuah prestige sosial, sehingga anak muda kekinian ini sudah menjadikan kafe sebagai gaya hidupnya. Selain itu dalam era modern saat ini fashion merupakan suatu hal utama dalam pengaktualisasian diri dihadapan publik dan juga media sosial.
Karena itu spirit diskursus yang di bangun ketika pergi ke kafe atau kedai kopi berpengaruh juga pada design tempat dan kepentingan mereka meminum kopi. Dengan demikian sebaiknya kita dapat melihat kopi sebagai mediasi pengembangan desain sosial di mana setiap orang dapat berkontribusi pengetahuan dan pengalaman mereka sendiri. Dalam kaitan itu, dimana kebiasaan kopi yang tercipta di dunia Islam boleh dikatakan telah meletakkan fondasi bagi model sipil baru yang didasarkan pada sosialisasi.(*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi, Rabu 22 Mei 2024.
Komentar