Meritokrasi Calon Kepala Daerah 2024
Oleh: Aji Deni
(Penulis adalah DEKAN FISIP UMMU)
Masalah dan ancaman terbesar dalam rekrutmen elite partai untuk Pilkada 2024 adalah Nepotisme dan Patronase, sebuah pilihan politik sesuai selera yang didasarkan pada hubungan pribadi, politik dinastik daripada kualifikasi atau kapabilitas yang sebenarnya. Dengan dibukanya pendaftaran, mirip pencari kerja yang melamar pada burja kerja politik, ada transparansi internal partai namun seringkali terjebak pada sulitnya menemukan kandidat yang memiliki kualitas dan kapabilitas yang memadai untuk menjadi pemimpin daerah, terutama dalam konteks persaingan yang semakin ketat.
Tidak semua kandidat memiliki akses yang setara, minimal akses terhadap sumber daya politik, seperti dana kampanye, media, dan dukungan politik. Ketidaksetraan akses ini diperburuk dengan adanya dominasi oligarki Politik lokal dan nasional yang berjejaring, menghambat akses bagi calon-calon baru yang berkualitas untuk mendapatkan dukungan partai, memupuk kekuasaan kontrol segelintir orang yang berkuasa dengan uang dan akses politik.
Transparansi adalah kunci rekrutmen partai termasuk dalam materi fit and propert test menguji kepakaran, kemampuannya dalam menjelaskan pengalaman kerja, prestasi dan capaian berupa program yang berhasil dijalankan, integritas dan etika berkaitan dengan tidak pernah terlibat dalam kasus-kasus korupsi atau perilaku yang tidak etis, kemampuan memimpin suatu organisasi serta gaya kepemimpinannya dalam mengatasi tantangan dan keputusan yang diambilnya.
Public speaking kemampuan atau berkomunikasi dengan baik dengan masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta, kemampuan mengelola Sumber Daya keuangan, manusia, atau infrastruktur, dalam posisi-posisi sebelumnya, kemampuan memecahkan masalah. Apa sebetulnya yang harus dikumpulkan dari rekrutemen elite ini adalah untuk memperoleh sosok dan gambaran yang lebih jelas tentang kemampuan dan potensi calon untuk memimpin dan mengelola daerah dengan baik.
Di sini ada kewarasan dalam menopang kepercayaan publik terhadap partai politik dan calon yang diusungnya. Partai politik jangan sampai kehilangan identitas dan ideologinya. Namun masalahnya pada saat injury time, partai sering berkompromi dengan nepotisme,, oligarki dan kekuasaan pragmatis sehingga tidak lagi mempertimbangkan identitas dan ideologi partai, mengakibatkan kehilangan arah dan tujuan politiknya dalam platform partai. Dalam menghadapi masalah-masalah ini, partai politik perlu memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi internal, transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dalam rekrutmen elite mereka untuk memastikan bahwa calon yang diusung adalah orang yang berkualitas dan mampu memimpin dengan baik.
Seseorang kandidat kepala daerah mungkin memiliki kapasitas dalam pengelolaan pemerintahan daerah, namun terhalangi oleh ketiadaan dalam memiliki koneksi jaringan sosial atau politik sehingga dapat memberikan keuntungan besar dalam rekrutmen elit. Hanya sosok yang memiliki jaringan yang luas cenderung lebih mudah mendapatkan posisi elit.
Ketika seseorang diperhadapkan pada ketidaksetaraan sosial dan ekonomi, dapat saja merusak reputasi partai politik dan dilematis. Solusinya, partai tetap mengedepankan meritokrasi dalam memilih para pemimpin. Syarat meritokrasi dalam seleksi calon kepala daerah adalah proses seleksi yang didasarkan pada prestasi, kualifikasi, dan kemampuan individu tanpa memandang faktor-faktor seperti nepotisme, patronase, atau faktor non-kinerja lainnya.
Rekrutemen elite partai untuk calon kepala daerah diupayakan dapat menemukan sosok yang dengan beberapa kriteria yaitu integritas dan etika, visi dan rencana pembangunan, kepemimpinan yang kuat, kemampuan berkomunikasi yang baik, kemampuan manajerial yang handal, keterbukaan dan responsif, komitmen terhadap pelayanan publik, kemampuan membangun jaringan dan kolaborasi, kecerdasan emosional dan empati, konsistensi dan keterampilan manajemen konflik, pendidikan dan pengetahuan yang memadai, berorientasi pada hasil dan inovasi.
Publik menginginkan agar partai politik jangan lagi merekrut calon kepala daerah yang memiliki rekam jejak buruk, kurangnya kapasitas Manajerial, adanya dugaan praktek korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, memiliki kelemahan yakni keterbatasan sumber daya, lebih cenderung mengutamakan dan membela kepentingan pribadi, tidak mampu bekerja di bawah tekanan seperti perubahan kebijakan dan regulasi, bekerja tidak transparan, anti pengawasan hukum dan kontrol media massa. Praktek korupsi kepala daerah disebabkan oleh tingginya biaya rekrutmen calon dan biaya politik dalam Pilkada.
Mengelola pemerintahan daerah tidak seperti mengurusi arisan keluarga, bukan seperti tempat perkumpulan keluarga dan kerabat dekat. Sosok kepala daerah yang dinantikan publik adalah milik semua orang, teruji sikap yang transparan dan akuntabel terutama pada pengelolaan keuangan dan kebijakan pemerintahan daerah. Sikap sosok kepala daerah ini akan muncul dengan sendirinya melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan agar meningkatkan legitimasi kebijakan dan mengurangi risiko korupsi, bahkan lebih baik lagi jika dilakukan melalui forum konsultasi publik, pertemuan dengan pemangku kepentingan, dan mekanisme partisipasi lainnya, bukan sebaliknya, sengaja menghindari atau tidak hadir ketika diundang oleh DPRD dalam hajatan strategis.
Seringkali muncul konflik kepala derah Vis a Vis dengan DPRD tentang efisiensi dan transparansi pengelolaan asset dan keuangan daerah yang berawal dari menyoal kapasitas sumberdaya yang berkompeten dan berintegritas dalam mengelola pemerintahan daerah. Dan pada sisi lainnya, butuh adanya kemitraan dan kolaborasi dengan sektor swasta, LSM, dan sektor lainnya dapat membantu dalam meningkatkan efektivitas program dan layanan pemerintah daerah.
Preferensi politik masyarakat selalu dilekatkan pada ingatan kinerja pemerintah terdahulu seperti kualitas kepemimpinannya, kualitas pembangunan infrastruktur, pelayanan publik, atau pengelolaan keuangan, dapat memengaruhi preferensi pemilih terutama terhadap calon petahana. Seorang petahana akan dinilai dari kinerja selama masa jabatannya apakah baik atau buruk, juga pada popularitas dan dukungan masyarakat, isu-isu politik dan sosial dalam kampanye, juga bergantung pada perbandingan kualitas politik pasangan calon lainnya.
Demikianlah, menerapkan meritokrasi dalam menilai calon kepala daerah berdasarkan merit, yakni prestasi, kualifikasi, dan kemampuan individu tanpa memandang faktor-faktor seperti nepotisme atau patronase. Di tengah tuntutan kepemimpinan yang kompleks di tingkat daerah ini, partai politik hendaknya arif agar tidak mempraktekan nepotisme dan patronase yang dapat merugikan proses demokrasi dan kualitas pemerintahan kelak.(*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi, Selasa 21 Mei 2024.
Komentar