Mana Boleh, Nikah Sesama Jenis

Oleh: Isbullah J. Bangsa
(Mahasiswa sastra Inggris dan anggota Forum Studi Anak Satra (Forsas-MU)

Sehubungan dengan peristiwa akad nikah yang terjadi di masyarakat. Kurang lebih di terminologi sebagai mata rantai kekerabatan. Kalau kita baca dalam catatan budaya, tergolong salah satu unsur kebudayaan yang menempatkan cara hidup berkelompok dengan menjalin hubungan sosial. Melalui kegiatan yang disepakati oleh kedua pihak keluarga tertentu dapat mendudukkan nilai ritual berlangsung di tengah masyarakatnya. Yakni mempelai lelaki dan perempuan akan membangun rumah tangga secara rukun.

Di samping itu, pernikahan juga berurusan dengan nilai ibadah, memperkaya kerukunan untuk keturunan. Sebab, kerukunan dalam rumah tangga bukan saja meraih mentalitas, sebagaimana mengatur urusan batin, namun juga urusan biologis lainnya. Ketika keluarga kecil menuai janji hidup serumah, maka rumah bertangga itu harus terisi dengan suasana.

Berumah tangga, sudah barang tentu ada harapan yang harus dicapai oleh kedua mempelai. Pertama, sebuah pernikahan dilakukan oleh jenis laki-laki dan perempuan. Yang kedua, diakui keluarga dan ketiga menjadi status yang sama dengan masyarakat. Ketiga hal ini secara terbuka dalam pandangan masyarakat karena pernikahan bukan perlakuan tabu. Namun, kesucian yang dicontohkan kepada dan untuk remajanya.

Dengan begitu, pernikahan sebagai wadah, media, dan ruang kebebasan bagi manusia dari sifat bual kian merusak tatanan sosial. Biasanya, diwadahi dengan keberlakuan yang disebut adat-istiadat. Meskipun, keragamannya masing-masing dimiliki setiap kelompok masyarakat. Namun, tidak menyelewengkan beberapa variabel yang baru saja saya sebutkan sebelumnya. Terutama, daerah-daerah di Maluku Utara. Adat Makian, Galela, Tidore, dan Ternate sangat berbeda dalam pernikahan.

Olehnya, kita semua memahami betapa penting ritual keagamaan dan adat-istiadat terus berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup manusia dari asal usul berita, pesan, tanggung jawab yang dibawa para terdahulu. Berdasarkan berita pada zaman Luth, seorang manusia biasa yang diberi ilmu pengetahuan oleh Tuhan, sebagai Nabi bagi orang Islam.

Lelaki asal Irak ini pernah mengalami kemunduran cara hidup secara langsung di tengah masyarakat Sodom. Pada kenyataannya, tujuan Luth terhadap negeri yang dipenuhi perilaku seksual antar sesama jenis. Alih-alih membawa peringatan dan mengajarkan perihal nikah sesama lawan jenis. Karena yang dipraktikkan oleh mereka (Sodom), dianggap menyimpang. Tidak ada manfaatnya. Dan pernah didatangi beberapa lelaki di rumahnya. Dan ia menawarkan anak perempuannya untuk dinikahi. Akan tetapi, kebaikannya ditolak. Mereka ingin seorang diri Luth.

Dalam pikiran mereka, hubungan dengan perempuan sebetulnya aneh dan mustahil. Kemudian, lebih memilih lelaki sebagai pendamping. Kompleksitas, mereka dipenuhi kebodohan memilih jalan tidak mengandung nilai kepekaan sedikit pun, sebagaimana harapan besar Luth ingin memperbaiki tatanan sosialnya. Akhirnya, mereka tanpa sadar diperangi penyakit yang begitu mematikan. HIV/AIDS, perlahan menguras daya pertahanan tubuh hingga berakhir kematian. Baca: PKRS, RSUD Kota Padang Panjang.

Baru-baru ini kita dikejutkan dengan fenomena sosial. Dan terlihat seksis di media sosial yang saling beri informasi. Dialami sepasang kekasih yang menjalankan upacara akad nikah. Viral, setelah hari berlalu, dikabarkan banyak orang mengenai jenis kelamin kedua pasangan itu. Usut demi usut, keduanya ternyata sepasang lelaki setelah diperiksa oleh pihak tertentu dan berkesempatan lain, mempelai seperti wanita juga mengakui kesengajaannya pada publik lewat media sosial. Baca selengkapnya di gubris media, Indotimur.com, Jumat, 17 Mei 2024.

Ketakutan terbesar budaya kita terbilang cukup rentan. Karena kelemahan hukum, seharusnya berfungsi untuk melindungi kebudayaan dan adat-istiadat masyarakat. Tidak mendapatkan penetapan lewat aturan (pelarangan) sesuai pembiasaan masyarakatnya. Kurang eksplorasi pendidikan sebagaimana menjaga moralitas atas kemajuan anak bangsa.

Beruntung, masih ada kepekaan masyarakat dapat melawan kemungkaran. Jika tidak apa jadinya manusia di zaman sekarang ini. Generasi baik remaja ataupun dewasa, sebagiannya nyaris tergulir zaman yang semakin hina akibat hukum moralitas seperti tidak tahu mana yang bermanfaat dan mana yang tidak itu ternyata hilang sekejap dari pendirian.

Belum lagi selain dari berwaspada. Di luar sana, ada kebebasan yang tidak bisa diukur oleh apapun. Tidak ada rumus dipecahkan, seperti kehidupan orang Barat, sudah lazim mengesahkan hubungan sesama jenis. Bahkan, diberi jaminan kesehatan bagi yang akan menikah. Tentunya, dikaitkan dengan institusi yang berhubungan langsung dengannya.

Sejalan dengan artikel berjudul, “Same-Sex Marriage — A Prescription for Better Health” dari the New England, Jurnal of Medicine. Ditulis oleh Gilbert Gonzales, MHA. Yang diterbitkan pada 10 April,2014 lalu. Meneliti kesehatan publik dengan menegaskan, bahwa masyarakat harus butuh kesetaraan kesehatan (in health Equity) bagi populasi rentan seperti Gay, Lesbian maupun Biseksual dan LGBT.

Namun, sekalipun demikian. Dalam budaya kita, pernikahan sesama jenis tidak diperbolehkan oleh masyarakat. Apalagi pada mayoritas Islam, dalam ajarannya. Sangat kuat mengakar dalam dan menjadi fondasi moralitas. Membangun kondisi dan bahkan menyehatkan perilaku secara hidup berkelompok.(*)

Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi, Selasa 21 Mei 2024.

Komentar

Loading...