Literasi VS Everybody

Oleh: Achmad Gani Pelupessy
(Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia)

"Literasi ialah kemampuan membaca dan menulis, menambah pengetahuan dan keterampilan, berpikir kritis dalam memecahkan masalah, serta kemampuan berkomunikasi secara efektif yang dapat mengembangkan potensi dan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat" (Alberta).

Literasi, sebuah istilah familiar di kalangan mahasiswa dan kehidupan intelektual. Istilah ini berbentuk sebuah kegiatan produktif yang dapat membantu setiap orang untuk menjadi lebih terampil, berpengetahuan kritis, problem solver, serta dapat mengembangkan potensi diri. Sebagai sarana produktifitas sumber daya manusia yang lebih baik, agenda literasi tak jarang dilaksanakan. Para pencinta ilmu pengetahuan selalu menggelar kegiatan literasi untuk kemanfaatan individu dan juga masyarakat. Tak jarang agenda literasi dilakukan dalam bentuk membaca, menulis, menghitung, menganalisis, riset, serta berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.

Sebegitu pentingnya literasi untuk kebaikan manusia, tak sedikit yang hendak berpartisipasi. Kebanyakan orang ramai dan gemar terlibat dalam agenda tersebut. Oleh karena kesadaran untuk menjadi manusia yang bermanfaat dan berguna pada orang lain. Namun tak sedikit pula yang kurang memiliki minat terhadap agenda literasi. Hal ini dapat dilihat berdasarkan fenomena yang sedang terjadi di kampus Universitas Khairun, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

Konon, di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, dahulu, para mahasiswa sangat senang dengan agenda literasi. Oleh karena kesenangan atas agenda itu, kebanyakan mahasiswa menjadi sangat produktif dalam menghasilkan karya, dan juga kritis atas kebijakan kampus yang dinilai kurang demokratis. Agenda literasi menjadikan para mahasiswa semakin berkembang dalam ilmu pengetahuan serta meningkatnya kesadaran untuk melihat penyimpangan.

Menurut informasi, dahulu di setiap tempat di dalam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan terdapat banyak sekali mahasiswa yang melakukan agenda literasi dalam bentuk lapak baca. Tidak hanya di dalam wilayah kampus, di depan kampus yang berpapasan dengan jalan raya sekalipun tersedia pagelaran lapak baca untuk mahasiswa yang berminat. Agenda literasi dalam bentuk lapak baca itu acapkali dilakukan oleh mahasiswa program studi tertentu atau sekumpulan kader organisasi.

Saking banyaknya lapak baca di wilayah kampus, para peminat literasi menjadi sangat banyak pula. Adapun, selain lapak buku, di teras depan fakultas, para mahasiswa juga melaksanakan refleksi dengan cara berorasi: baik orasi pendidikan, politik, ataupun ekonomi. Hakikatnya, para mahasiswa dahulu mesra dengan agenda literasi dikarenakan terdapat kesadaran diri atas penyimpangan yang terjadi. Penyimpangan yang disoroti oleh mahasiswa sangat beragam, secara internal maupun eksternal seperti kehidupan kampus yang otoritarian, biaya kuliah yang mahal, ataupun harga komoditi masyarakat yang sangat murah.

Sehubungan dengan kelangsungan agenda literasi kepada mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dahulu, dampak positifnya ialah berhasil menggulingkan sistem otoritarian salah satu oknum dosen, dan juga keberhasilan menuntut kenaikan harga komoditi lokal. Kekritisan mahasiswa dahulu terpotret pada sejumlah kegiatan literasi yang pernah dilakukan. Oleh karena hal tersebut, informasi mengenai kekritisan mahasiswa masih terus berlangsung dan dibicarakan kepada setiap mahasiswa baru Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

Ironisnya, informasi mengenai kekritisan mahasiswa yang didapat melalui agenda literasi itu hanya menjadi keromantisan sejarah bagi mahasiswa saat ini. Seperti menceritakan dongeng kepada anak kecil, hilang dan berlalu. Dewasa ini, mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan seperti kehilangan kesadaran akan pentingnya literasi.

Tidak ada lagi lapak buku, tidak ada lagi diskusi, kurangnya pagelaran orasi refleksi, serta berkurang kajian keilmuan. Berkaitan dengan fenomena tersebut, dampak buruk yang dialami mahasiswa saat ini ialah tidak memiliki kepekaan terhadap masalah-masalah yang sedang terjadi. Mahasiswa menjadi sangat individualis, hanya mengutamakan diri sendiri. Urgensi ilmu pengetahuan dilupakan dan digantikan dengan gunjingan.

Perilaku mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan saat ini mengindikasikan sebuah sikap melawan agenda literasi (Literasi vs Everybody). Betapa hubungan antara mahasiswa dan literasi sangat berjarak. Apabila dibandingkan dengan kondisi kampus dahulu, dewasa ini, di setiap wilayah kampus menjadi sangat kosong dengan agenda literasi.

Hal ini dipengaruhi oleh jumlah peminat literasi yang kian merosot. Berkelindan dengan potret kehidupan kampus saat ini, kemerosotan angka peminat literasi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dikarenakan sikap egoistis mahasiswa yang disibuki tugas kuliah saban hari. Adapun sikap hedon mahasiswa menjadi faktor utama kemerosotan angka minat terhadap literasi.

Selain hal-hal tersebut, adapun dampak paling buruk yang dialami mahasiswa karena tidak lagi berliterasi yaitu mahasiswa menjadi sangat penurut. Terdapat sejumlah potret yang menunjukkan mahasiswa sangat penurut terhadap perintah dosen, meskipun perintah tersebut sangat berlawanan dengan tugasnya sebagai mahasiswa.

Contoh perintah dosen diantaranya: mahasiswa disuruh pijat kaki dosen yang bersangkutan, mahasiswa disuruh menjadi pelayan di kafe dosen yang bersangkutan, mahasiswa diperkosa, dan lain sebagainya. Sejumlah potret mahasiswa penurut ini diakibatkan oleh kurangnya daya kritis dalam diri mahasiswa. Sejatinya, mahasiswa adalah agen yang bertugas untuk mengontrol kehidupan sosial menjadi lebih baik, bukan sebagai budak yang siap dan bersedia melayani raja. Guru bukan dewa yang selalu benar, dan murid bukan kerbau (Soe Hok Gie).

Ungkapan Gie di atas ialah sebuah analogi yang hendak menggambarkan kondisi murid (siswa/mahasiswa) bukan seperti kerbau yang dipekerjakan, dan guru bukan dewa yang selalu benar. Oleh karena itu, Gie menolak untuk berkompromi dengan guru yang berperilaku tidak benar. Sayangnya, kondisi mahasiswa saat ini bukan bertipekal seperti Soe Hok Gie.

Mahasiswa saat ini adalah mahasiswa yang penurut kepada dosen, meskipun perintah dosen itu salah. Hal ini terjadi karena mahasiswa saat ini, khususnya di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, tidak memiliki daya kritis dalam menyikapi masalah. Bukan hanya tidak memiliki daya kritis, melainkan tidak memiliki seperangkat ilmu pengetahuan yang dapat membantu mahasiswa untuk menyadari hakikat dirinya sendiri.(*)

Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi, Senin 20 Mei 2024.

Komentar

Loading...