Yang Membekas dari Dua Periode
Oleh: M. Zulfan Amal
(Mahasiswa Fakultas Hukum & Kader dJAMAN Malut)
Dua dekade telah berlalu. Slogan Tidore Jang Foloi masih menyisahkan banyak catatan. Tugulufa, taman Rum Balibunga, trotoar, lampu jalan adalah sedikit dari sebagian yang nampak dan terlihat di pelupuk mata. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat, Capt. Ali Ibrahim, M.H. dan Muhammad Sinen S.E. Telah menahkodai Kota Tidore Kepulauan (Tikep). Namun ikhwal pembangunan Tikep hanya mengejar momentum pada perhelatan tertentu.
Dalam lima tahun terakhir, pemerintah kota (Pemkot) Tikep hanya memetingkan kegiatan yang bersifat euforia. Lima tahun menjabat dua tahun menjalankan visi-misi tiga tahun dipakai untuk kampanye kembali. Setidaknya untuk mengamankan posisi setelah masa jabatan selesai. Begitulah budaya politik kita hari ini.
Kegiatan seperti Sail Tidore dan Hari Nusantara, merupakan kegiatan yang skalanya nasional dan internasional. Namun, dibalut dengan kegiatan yang kurang bermanfaat, seperti senam goyang Tidore, dan lomba makan sate. Yang mana hanya untuk kesenangan sementara, tanpa melihat potensi yang ada untuk pemanfaatan sumber daya manusia maupun sumber daya alam. Konser musik malam apresiasi sekaligus peringatan hari lahir Pancasila pun terkesan muatan politis.
Terlepas dari euforia pemkot. Ada hal yang terlewatkan atau mungkin sengaja dilupakan oleh para pemangku kebijakan. Ya, selain Oba, masih ada Mare dan Talaga yang secara geografis lebih dekat dengan pusat kota.
Secara wilayah pulau Mare masuk dalam wilayah administratif Tikep. Akan tetapi masyarakat Mare masih jauh dari kata sejahtera. Listrik, pelabuhan, dan pendidikan masih menjadi hal yang susah dinikmati warga pulau Mare, listrik yang dinikmati masyarakat pulau Mare masih terbatas. Meskipun sudah ada PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Disel) yang beroperasi di pulau Mare, namun listrik yang dihasilkan belum seratus persen. Alhasil akses warga terhadap energi listrik selama 24 jam belum tercapai.
Kemudahan akses menjadi salah satu indikator kesejahtraan masyarakat di balik banyaknya opsi. Nah, sampai Desa Mare kofo juga Mare Gam yang berada di Pulau Mare belum memiliki pelabuhan tetap terutama di Pulau Tidore. Sehingga warga terkadang harus berlabuh di kelurahan Gurabati, Tomalou bahkan Tongowai.
Dari segi pendidikan masih ada ketimpangan, seringkali tenaga pengajar yang seharusnya mencerdaskan anak bangsa malah tidak menunaikan kewajibannya. Hal ini bukan tanpa alasan, guru-guru yang mengajar kebanyakan berasal dari pulau Tidore, artinya mereka dibatasi oleh lautan. Maka tak heran jika mereka tak datang ke sekolah karena kendala cuaca, padahal ada rumah dinas yang telah disediakan. Sampai saat ini pemerintah kota dan Dinas Pendidikan kota Tikep belum menyikapi atas persoalan tersebut.
Selain Mare, masih ada Desa Talaga yang terletak di kaldera gunung Kie Matubu, menjadi desa dengan akses terparah. Akses jalan untuk ke desa Talaga bisa dikatakan belum rampung, karena belum sampai ke desa. Akhirnya warga kesulitan dalam menjual hasil bumi, padahal Desa Talaga terkenal dengan hasil Perkebunan yang melimpah. Untuk mengangkut hasil bumil ke pasar, warga harus menyewa jasa ojek untuk ke Kel. Mafututu terlebih dahulu.
Letak Desa Talaga yang terisolir, bahkan nyaris ditutup oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah, sebelum pemekaran 2000. Meski ada ancaman ditutup, warga bergeming. Mereka bertahan di tengah kesulitan itu. Bagi mereka, pilihan paling bahagia berada di tempat jauh dari gangguan dan hiruk pikuk kota (Mongabay.co.id 12/02/2017).
Selain masalah akses. Ada juga problem komunikasi (jaringan) yang tak kala peliknya. letak desa yang jauh dari pusat perkotaan, ditambah infrastruktur penunjang seperti tower jaringan yang belum masuk ke desa. Serupa mencari jarum di tumpukan jerami, jaringan di desa tersebut sangat sulit diakses. Lagi-lagi ini merupakan kegagalan dari pemerintah Tikep.
Jika kita menilik kembali definisi pembangunan menurut Vandana Shiva: pembangunan ada dua apek yang bukan hanya fisik tetapi juga psikis (Ecofeminism, 1993). Hal ini menandaskan bahwa pembangunan di Tikep terkesan terlalu tersentralisasi pada pusat kota ketimbang melihat wilayah lainnya. Guru yang jarang hadir di Mare. Begitu juga Talaga.
Kota Tikep dalam menggambil kebijakan pembangunan infrastruktur terkesan lebih berbau politis. Artinya, sudah ada kesepakatan antara cukong dan kacung, sebelum mereka terpilih. Ikhwal sudah menjadi budaya dan tak bisa ditolak mata. Alhasil jumlah pemilih menjadi pertimbangan. Bernasib sama seperti Mare dan Talaga, Oba menjadi bukti dari deal-dealan politik, padahal pasangan Capt. Ali Ibrahim, M.H. dan Muhammad Sinen S.E. mendulang suara yang banyak.
Ini yang kemudian dirasakan oleh Mare dan Talaga. Mare dan Talaga seakan diabaikan karena dengan jumah pemilih yang sedikit. Talaga dengan jumlah pemilih tidak melebihi 100 jiwa pilih, sedangkan Mare tidak melebihi 500 jiwa pilih. Fakta di atas, selaras dengan tidak dimuatnya rencana pembangunan pelabuhan penyebrangan di Tidore khusus masyarakat Mare dan tentunya jaringan telekomunikasi di Desa Talaga. Padahal kita semua ketahui bahwa negara tidak boleh berbisnis dengan rakyat. Akhirnya Mare dan Talaga hanya jadi wacana dalam kampanye yang tak kunjung terealisasikan.(*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi, Kamis 16 Mei 2024.
Komentar