DPD bukan Dewan Perwakilan Daerah

Berdasarkan penjelasan di atas, guna membangun prinsip checks and balances dalam lembaga perwakilan rakyat Indonesia harus ada perubahan radikal terhadap fungsi legislasi, yaitu dengan tidak lagi membatasi DPD seperti saat ini. Kalau ini dilakukan, gagasan menciptakan sistem dua kamar di lembaga perwakilan rakyat guna mengakomodasi kepentingan daerah dalam menciptakan keadilan distribusi kekuasaan menjadi dapat diwujudkan.

Bagaimanapun, dengan pola legislasi sekarang, DPD tidak mungkin mampu mengartikulasikan kepentingan politik daerah pada setiap proses pembuatan keputusan di tingkat nasional, terutama dalam membuat undang-undang yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. dikaitkan dengan sistem pemerintahan presidensial, penataan fungsi legislasi amat diperlukan karena presiden begitu dominan dalam proses legislasi.

Dari hasil telaah sejumlah konstitusi (baik dengan sistem pemerintahan presidensial dan pemerintahan parlementer, maupun dengan sistem satu kamar dan sistem dua kamar di negara kesatuan maupun federal) membuktikan bahwa presiden masih dapat mengajukan rancangan undang-undang, namun keikusertaan presiden dalam pembahasan rancangan undang dengan lembaga perwakilan rakyat (parlemen) tidak seperti di Indonesia.

Pada semua negara, persetujuan menjadi hak ekskulsif lembaga perwakilan rakyat (Lembaga legislatif). Bahkan di Mauritinia, meski inisiasi dapat berasal dari pemerintah dan parlemen, pembahasan (perdebatan) rancangan undang-undang dilakukan oleh pemerintah (Council of Ministers), namun pesetujuan tetap menjadi hak ekslusif parlemen.

Oleh karenanya, untuk menata fungsi legislasi, yang diperlukan tidak hanya terbatas pada penguatan fungsi legislasi DPD tetapi juga dengan membatasi peran atau keterlibatan presiden dalam fungsi legislasi. Kalau memang punya political will yang kuat untuk melakukan purifikasi sistem presidensial, presiden tidak lagi dilibatkan dalam proses pembahasan rancangan undang-undang.

Dengan demikian, mekanisme checks and balances dalam pembahasan rancangan undang-undang hanya terjadi antara DPR dan DPD. Selain fungsi legislasi, sistem bikameral yang efektif juga dibangun dalam fungsi anggaran. Terkait dengan hal ini, hampir semua negara memberikan kewenangan kepada the second chamber untuk melakukan perubahan dan penundaan dalam waktu terbatas terhadap rancangan undang-undang keuangan negara dan yang terkait dengan keuangan negara.

Misalnya di Puerto Rico, all bills for raising revenue shall originate in the House of Representatives, but the Senate may propose or concur with amendments as on other bills. Sementara di Inggris, House of Lords diberikan wewenang melakukan perubahan terhadap rancangan undang-undang keuangan negara dan tidak dapat melakukan penundaan lebih satu bulan (the House of Lords cannot delay a money bill for more than one month).

Tidak demikian halnya dengan Indonesia. Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara” Sama dengan fungsi legislasi, dalam fungsi anggaran, DPD juga mempunyai fungsi anggaran yang sangat terbatas, yaitu terbatas pada memberikan pertimbangan kepada DPR dalam proses pembahasan rancangan undangundang APBN.

Padahal, pertimbangan hanyalah sebagian kecil penggunaan hak dalam fungsi anggaran. Semestinya, DPD diberi kewenangan untuk mengusulkan, mempertimbangkan, mengubah, dan menetapkan anggaran seperti DPR. Menurut Kevin Evans, dalam sistem bikameral, bila mengubah dan menetapkan tidak dimiliki the second chamber, maka the second chamber seharusnya diberi hak menunda persetujuan rancangan APBN.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4

Komentar

Loading...