Weda, malutpost.com — Bencana serius tengah mengancam penduduk Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng) sebagai salah satu daerah penghasil nikel terbesar di Provinsi Maluku Utara (Malut). Mereka terancam mengalami stunting di masa depan.
Stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis yang ditandai tinggi badan berada di bawah standar.
Berdasarkan data Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2KBP3A) Halteng per November tahun 2023, ada 2.707 keluarga di Halteng yang berisiko mengalami stunting di masa depan. Ribuan keluarga ini tersebar di 10 kecamatan Halteng (selengkapnya, simak grafis).
Dinas itu memprediksi kasus stunting bakal membludak di Halteng pada beberapa tahun mendatang.
Data juga menunjukkan ada kenaikan kasus stunting di Halteng. Pada tahun 2022 kasus stunting berada di angka 2.518 keluarga. Yang artinya terdapat peningkatan sebanyak 189 keluarga yang masuk kategori berisiko stunting pada 2023.
Apalagi, sepanjang tahun 2023 lalu, kasus stunting di Malut sudah tercatat sebanyak 5.037 orang. Informasi ini berdasarkan data elektonik pencatatan Dan pelaporan Gizi berbasis masyarakat (e-PPGBM) Dinas Kesehatan Malut.
Sementara di Kabupaten Halteng, jumlah balita stunting per November tahun lalu, mencapai total 499 dari 4.070 balita yang diukur di 12 Puskesmas, sebagaimana data dari Dinkes Halteng, (selengkapnya simak grafis).
Baca halaman selanjutnya…
Menurut data itu lagi keluarga dengan risiko stunting di Halteng ini, terdiri dari keluarga yang memiliki anak remaja perempuan dan calon pengantin, ibu hamil, ibu nifas, anak usia 0-23 bulan, anak usia 24-59 bulan yang berasal dari keluarga kurang mampu, jarak kelahiran anak yang berdekatan, pendidikan orang tua rendah, sanitasi lingkungan buruk, dan air minum yang tidak layak.
Penyebab stunting disebutkan karena persoalan lingkungan yang tidak sehat, seperti air bersih yang tidak layak minum, debu yang beterbangan, dan sebagainya.
Penyuluh Keluarga Berencana (KB) Dinas P2KBP3A Halteng, Alwiah Alting mengatakan, keluarga atau rumah tangga dengan kondisi tersebut, sangat rentan terkena stunting. Terutama akibat sering mengonsumsi air yang tidak layak minum, misalnya air hujan atau air tanah (sumur) yang tidak terlindung.
Di sisi lain, pembuangan limbah dan septi-tank yang tidak layak, juga membuat rumah tangga atau keluarga itu rentan terkena stunting. Faktor lingkungan ini dapat menyebabkan sebuah keluarga berisiko stunting, tutur Alwiah kepada Malut Post, baru-baru ini.
Dia menambahkan tanpa ada penanganan serius, mereka akan mengalami stunting dalam periode panjang. Akibatnya akan membuat kemampuan kognitif yang tak berkembang dan gampang sakit.
Lambat laun, mereka yang mengalami stunting akan sulit mengingat, menyelesaikan masalah, dan terhambat dalam aktivitas yang melibatkan kegiatan mental. Dengan demikian, stunting atau kekurangan gizi kronik tersebut, bakal menimbulkan persoalan serius dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) di masa depan.
Jadi ini lah yang kami cegah, sehingga tiap tahun kami melakukan verifikasi terhadap keluarga yang berpotensi menderita stunting tersebut. Agar dapat memitigasi ancaman stunting di masa depan, terang Alwiah.
Tahun 2023 lalu, menurut dia, Dinas P2KBP3A Halteng telah memverifikasi risiko stunting di 31 desa yang ada di Halteng dengan menggunakan instrumen atau alat bantu berupa aplikasi yang terhubung dengan jaringan internet.
Baca halaman selanjutnya…
Namun, untuk penggunaan aplikasi tersebut hanya dikhususkan bagi desa yang jaringannya baik. Sementara desa yang jangkauan jaringannya tidak memadai, pihaknya memanfaatkan formulir (paper base) untuk mendata risiko stunting agar ada pemetaan untuk melakukan pencegahan dan penanganan risiko stunting.
Selain itu, pihaknya juga melakukan pendampingan dan penyuluhan intensif terhadap keluarga berisiko tersebut, supaya dapat menekan jumlah keluarga yang berisiko stunting di masa depan. Jadi ada tim yang ditempatkan di setiap desa untuk memberikan pendampingan terhadap keluarga berisiko stunting. Harapannya, upaya ini dapat meminimalisir risiko stunting tersebut, pungkasnya.
Stunting di Lingkar Tambang
Akhir tahun lalu, Malut Post menyambangi Halteng. Perjalanan bermula dari Ternate dengan menaiki Kapal Feri menuju ibu kota Sofifi yang memakan waktu sekitar satu jam lebih.
Lalu, berkendara menggunakan sepeda motor menuju Kota Weda Kabupaten Halteng dengan durasi kurang lebih tiga jam. Setelah itu, berlanjut ke Desa Lelilef yang memakan waktu sekitar 40 menit lebih.
Waktu itu, pagi pukul 10.00 WIT. Terik menyengat di sepanjang jalan Desa Lelilef. Permukaan jalannya terdiri dari tanah kering padat dengan kerikil halus. Debu beterbangan seperti kabut. Lalu lintas juga begitu sibuk. Truk besar dan mobil Toyota Hilux putih milik perusahaan tambang berlalu-lalang hampir setiap saat.
Begitu pun kendaraan roda dua yang separuh bodinya menempel becek, terus melintas tanpa jeda. Bahkan, lingkungan perkampungan di Desa Leilef, hampir tak terlihat jalanan aspal. Meski ramai oleh aktivitas, rumah penduduk desa tampak suram.
Setidaknya, ini menjadi pemandangan awal saat menginjakkan kaki di Desa Lelilef, yang berjarak tidak terlalu jauh dari lokasi perusahaan tambang PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yang sudah beroperasi sejak 2018 lalu.
Anita Garing (29), salah seorang ibu rumah tangga (IRT) terlihat gerah dan sibuk mengayunkan kipas ketika disambangi Malut Post pukul 11.00 WIT di rumahnya, Dusun Dua Desa Lelilef Sawai, Kamis (16/11) lalu.
Anita menyambut kedatangan kami dengan ramah dan wajah penuh keringat. Karena khawatir dihantam debu yang beterbangan dan angin tak menyejukkan di luar rumah, Anita mengajak masuk ke ruang tamunya. Suasana sunyi menyelimuti ruangan yang redup tersebut.
Tampak empat kursi plastik hijau dibiarkan tak tertata. Di tengahnya terletak sebuah meja tanpa taplak. Ada juga sebuah mobil mainan berwarna kuning yang geletak di lantai. Anita memungut mobil mainan itu, mengusap debunya, dan memegangnya sambil meladeni kami.
Mobil mainan tersebut milik balitanya, Octavio Thiago Kore (2). Thiago begitu dia disapa- menderita stunting atau gangguan pertumbuhan akibat kurang gizi kronis sejak dilahirkan pada 9 Oktober 2021 lalu.
Thiago saat itu baru saja terlelap dengan tontonannya yang masih menyala di gawai milik Anita. Ia tertidur di kamar Anita dengan posisi menghadap langit. Tubuhnya mungil.
Dia (Thiago) baru saja tidur, jadi saya duduk di luar cari-cari angin, ujar istri Herdion Kore (33) ini membuka perbincangan.
Rumah keluarga Anita tidak berada jauh dengan lokasi perusahaan tambang PT IWIP. Dari rumahnya, bisa melihat julang bangunan perusahaan tambang tersebut. Selain itu, karena rumahnya menghadap langsung dengan jalan, tidak sedikit debu menerpa masuk.
Di bagian timur rumah, terdapat sebuah sumur bor tanpa atap yang digunakan keluarga Anita untuk keperluan sehari-hari, seperti mandi, memasak, mencuci, dan sebagainya. Sumur yang letaknya sekitar satu meter lebih dengan jalan, tentu tak sedikit debu dapat terjun ke dalamnya.
Terlebih, cara mengambil air sumur ini menggunakan mesin pompa air. Anita mengaku, air sumur bor yang digunakannya untuk keperluan sehari-hari ini, acap berwarna kuning kecokelatan. Kendati begitu, air dari sumur ini tetap menjadi satu-satunya sumber kehidupan mereka.
“Rata-rata di sini pakai sumur bor. Airnya bakuning (berwarna kuning-red),” ungkap Anita.
Kondisi lingkungan demikian turut menemani Thiago bertumbuh hingga usianya yang kedua tahun lebih ini. Anita mengaku, kehadiran tambang telah menyebabkan perubahan terhadap lingkungan tempatnya tinggal. Terutama debu yang beterbangan setiap waktu.
Baca halaman selanjutnya…
Walhasil, Thiago kerap menderita batuk setiap bulannya. Anita menduga batuk yang menyerang putranya akibat debu tersebut. Sebab Thiago juga Anita, tentu menghirup debu itu setiap waktu.
“Kalau mau bilang pengaruh (kehadiran tambang-red), ya pengaruh sekali. Dia (Thiago) pe penyakit tiap bulan tara lain cuma batuk (penyakitnya setiap bulan tidak lain hanya batuk),” bebernya.
Setelah hadirnya perusahaan tambang, dalam hal ini PT IWIP, Anita dan keluarganya kesulitan mendapatkan makanan yang sehat untuk asupan gizi balitanya. Terutama ikan, sayur dan buah-buahan.
Harga bahan pangan melejit ketika perusahaan masuk ke kampung. Tambang merusak lingkungan, juga membawa migrasi besar-besaran (pekerja dari luar-red) ke kampungnya. Akibatnya, untuk harga ikan, kata Anita, sekilo mencapai Rp35 ribu.
Sebagai ibu rumah tangga yang mengandalkan jualan online, tentu kebutuhan pokok untuk asupan gizi tersebut memberatkannya. Apalagi, suaminya Herdion Kore, kini sudah berhenti kerja di PT IWIP sejak dua tahun lalu. Namun, detail penghasilannya per bulan dan alasan suaminya keluar dari perusahaan enggan dibeberkan Anita.
Meski begitu, Anita tak menampik bahwa salah satu penyebab anaknya stunting juga karena asupan gizi yang masuk ke tubuhnya kurang.
Di mana saat masa kehamilan, Anita jarang mengonsumsi makanan bergizi seimbang lantaran, ada beberapa alasan, salah satunya faktor psikologis. Selain itu, ia juga hanya mau mengonsumsi gorengan yang masih hangat ketika hamil. Kondisi ini berjalan hampir lima bulan di masa kehamilannya. Bahkan, dalam masa menyusui juga asupan gizi Anita begitu minim, sehingga air susu yang diproduksi pun sangat sedikit.
“Kalau ada yang bikin saya marah (waktu hamil-red), itu saya sudah tidak mau makan,” tutur Anita.
Namun, untuk saat ini, asupan gizi Thiago sudah mulai membaik, meski berat badannya belum ideal. Terakhir kali ditimbang berat badan Thiago sekitar 8,7 kilo gram. Padahal, untuk berat ideal balita umur dua tahun adalah 9,7 sampai 15,3 kilo gram. Sementara itu, untuk berat badan pas lahirnya, berada di bawah berat normal (2,5 kg) atau hanya di angka 2,3 kilo gram.
Menurut Anita, Thiago mulai membaik dalam mengonsumsi makanan dan mendapatkan asupan makanan bergizi seimbang. Dia juga hanya makan ikan atau kuah ikan. Khusus ikan, Thiago tidak mengonsumsinya setiap hari. Karena selain harga ikan mahal, putranya juga tidak begitu doyan makan ikan. Bahkan, Thiago akhir-akhir ini mulai menyukai buah semangka. Sehingga ketika ada penjual buah lewat, Anita membeli semangka jika stoknya ada. Sayangnya, penjual buah ini tidak setiap hari melewati rumahnya.
“Jadi dia (Thiago) juga tidak begitu suka makan ikan,” pungkas Anita.
Banyak Faktor Penyebab
Sementara itu, Petugas Gizi Puskesmas Lelilef, Erni Amat mengakui, penyebab balita stunting di wilayahnya juga karena faktor lingkungan, meskipun ada banyak faktor lain yang menjadi pemicunya. Terutama kebersihan lingkungan.
Di Lelilef, polusi atau debu yang beterbangan begitu banyak akibatnya udara menjadi tidak sehat. Selain itu, cenderung stunting dipicu karena faktor genetik dan pemikiran tradisional berupa keturunan fisik, seperti keyakinan bahwa ibunya merupakan keturunan tubuh pendek. Sehingga anak yang lahir pendek saat masih bayi, dimaklumi sebagai keturunan sang ibu.
Adapun faktor pengetahuan orang tua dalam mengasuh balitanya yang masih minim. Lingkungan memang berpengaruh, karena di sini kan banyak polusi. Artinya, faktor kebersihan bisa memicu terjadinya stunting, terang Erni.
Dia membeberkan, per November tahun 2023, kasus stunting di lima desa wilayah kerjanya sebanyak 17 balita, salah satunya Thiago putra Anita tersebut.
Dari lima desa wilayah kerja Puskesmas Lelilef yang berada di lingkar tambang ini, jumlah tertinggi ada di Desa Kobe Gunung dengan enam balita stunting, disusul Sawai empat, Waibulen dan Sawai Itepo masing-masing tiga serta Desa Lukulamo dengan satu balita stunting.
Angka tersebut meningkat dibanding triwulan satu pada tahun ini, yang ada 14 balita stunting. Begitu pun dengan dua tahun terakhir ini, di mana pada 2021 lalu terdapat 13 balita stunting. Lalu, pada 2022 sempat mengalami penurunan hingga hanya sembilan balita stunting, tetapi tahun ini angkanya kembali melejit. Kalau data di tahun 2021 ke bawah belum kita himpun ke aplikasi, jelas Erni.
Dari 17 balita penderita stunting ini, tujuh di antaranya merupakan penduduk asli, sedangkan sepuluh lainnya pendatang. Belakangan ini, kebanyakan masyarakat yang ikut posyandu di Puskesmas Lelilef lebih didominasi pendatang dari luar daripada penduduk asli.
Akibatnya status gizi bayi atau balita dari penduduk asli justru tidak diketahui dan dilakukan pemantauan rutin puskesmas.
Padahal, setiap bulan puskesmas melakukan posyandu di lima desa tersebut. Namun, partisipasi penduduk asli sangat minim.
Dia berpendapat, para pendatang yang lebih sadar diri terkait pentingnya posyandu ketimbang penduduk asli. Kalau penduduk asli kan bagus, kita bisa pantau penduduk aslinya sekian, status gizinya sekian. Tapi, mungkin di sini orang-orangnya (penduduk asli-red) sudah banyak duit, jadi posyandu yang Cuma beberapa menit, mereka tidak bisa hadir, kata Erni kesal.
Baca halaman selanjutnya…
Dalam memantau penderita stunting tentu melihat tinggi dan berat badan balita menurut umur, misalnya balita empat tahun idealnya memiliki tinggi 100 senti meter lebih. Begitu pun dengan beratnya paling tidak di angka 12,3 kilo gram lebih. Di mana pemantauan berlangsung setiap bulan sampai balita berusia lima tahun atau nol bulan hingga 59 bulan.
Setelah itu, pemantauan akan dihentikan. Tapi, jika ada balita yang tinggi badan atau beratnya menurut umur sudah normal dalam masa pemantauan tersebut, maka langsung melakukan pendataan dan mengeluarkannya dari daftar kategori penderita stunting.
Sementara itu, jika balita hingga usia lima tahun masih mengidap stunting. Pihak Puskesmas Lelilef akan tetap memberikan edukasi tentang asupan gizi kepada anaknya secara berkala, agar bayi tersebut bisa sembuh.
Untuk itu, Puskesmas Lelilef terus melakukan penanganan dan pencegahan terhadap balita stunting serta ibu hamil.
Untuk ibu hamil, pihak puskesmas tetap memberikan edukasi terkait mengonsumsi makanan bergizi, obat dari bidan dan sebagainya agar tidak melahirkan bayi stunting ke depannya.
Mereka juga melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk mengubah pemikiran bahwa balita stunting karena keturunan. Justru balitanya bisa bertambah tinggi dan berat ideal jika diberikan makanan bergizi seimbang.
“Jadi untuk balita penderita stunting, kita hanya pantau dan melakukan edukasi kepada ibu serta memberikan makanan bergizi untuk dikonsumsinya,” tandas Erni.
Kepala Dinkes Halteng Lutfi Djafar menambahkan, di wilayah Lelilef dan Sagea, faktor stunting juga dibawa para pendatang atau pekerja tambang yang bermigrasi dengan keluarganya di wilayah tersebut. Walhasil, kerapkali tidak terdeteksi oleh puskesmas setempat.
“Apalagi jika mereka tidak ikut posyandu, lalu ujug-ujug melakukan pemeriksaan ke rumah sakit atau puskesmas, ternyata diketahui balitanya stunting. Saat kita tanya, mereka mengaku tinggal di Lelilef atau di desa lainnya. Padahal identitasnya dari kabupaten kota atau provinsi lain. Akhirnya mau tidak mau, kita catat dan tangani mereka, karena sudah menetap di Halteng. Ini yang bikin kita kesulitan,” terangnya.
Dinkes telah melakukan beberapa langkah penanganan, di antaranya memberikan tablet tambah darah kepada remaja putri sebagai antisipasi agar tidak mengalami anemia di masa remaja hingga menjadi ibu nanti.
Lalu, mendorong calon pengantin untuk melakukan pemeriksaan kesehatan tiga bulan sebelum pernikahan, agar disuntik vaksin Tetanus Toxoid untuk mencegah penyakit tetanus serta menerima konsultasi dari calon pengantin tersebut. Selain itu, sasaran penting juga ditujukan ke ibu hamil yang mengalami kekurangan energi kronis, yakni memberikan makanan tambahan lokal dan pabrikan, tablet zat besi, pemberian insentif dan sebagainya, tutup Lutfi.
Baca halaman selanjutnya…
Penanganan Stunting Butuh Kolaborasi
Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU), Riskal Muslim mengatakan, kehadiran tambang selain berpengaruh terhadap lingkungan, juga membawa perubahan signifikan dalam pola hidup masyarakat. Sehingga berdampak juga terhadap pemenuhan pangan masyarakat. Karena sebagian masyarakat yang kurang mampu, tentu akan mengonsumsi makanan dengan gizi yang rendah.
Aspek lingkungan memiliki kontribusi dengan kejadian stunting. Jika perubahan lingkungan berhubungan dengan aktivitas pertambangan, maka pihak perusahaan juga harus bertanggungjawab dan membantu pemerintah untuk penanganan stunting, jelas Riskal.
Menurut dia, pengaruh udara yang kotor dapat memicu terjadinya stunting. Sebab, beberapa ahli kesehatan berpendapat bahwa polusi bisa mengakibatkan infeksi saluran pernapasan. Infeksi ini membuat anak sering sakit, akibatnya menjadi malas makan. Walhasil, gizi mereka pun terganggu. Jika terlalu sering sakit, akhirnya berdampak pada tumbuh kembangnya, sehingga anak atau balita tersebut bisa berpotensi mengidap stunting.
Lingkungan dan pangan merupakan bagian intervensi spesifik dari penanganan stunting dan memiliki tingkat keberhasilan 70 persen. Sedangkan intervensi spesifik yang sudah dikerjakan dinkes, puskesmas, dan jaringannya hanya memiliki daya ungkit 30 persen. Karena itu, perlu kolaborasi dari berbagai stakeholder untuk mengmbil peran dalam menangani stunting tersebut.
Maka Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) di provinsi dan Kabupaten Halteng perlu meningkatkan upaya penguatan kinerja lintas sektornya. Sebagaimana diketehui, Badan Kesehatan Dunia (WHO) pernah merilis balita yang mengalami stunting akan memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal dan menjadikan anak lebih rentan terhadap penyakit tertentu.
Akibatnya, si anak di masa depan dapat berisiko pada menurunnya tingkat produktivitas. Ujung-ujungnya, stunting ini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar ketimpangan di masyarakat. Artinya, jika lingkungan dan pangan tidak memadai, maka risiko stunting menjadi lebih besar dan berdampak ke berbagai sektor, pungkasnya.
Senada, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Malut dr. Alwia Assagaf menyatakan, penanganan stunting harus terintegrasi di semua tingkatan dan memerlukan peran seluruh pihak, baik keluarga sampai pemerintah. Sebab stunting hanya salah satu dari masalah gizi yang dialami seorang anak. Sehingga tata laksananya tidak hanya dari satu tingkatan. Dengan demikian, intervensinya harus memulai dari gadis atau anak berusia remaja, agar bisa memiliki gizi baik sebagai persiapan ketika hamil nanti.
Selanjutnya, sasaran difokuskan pada seribu hari pertama kehidupan anak (HPKA), yaitu pada ibu hamil hingga anak berusia dua tahun. Karena masa ini menurut penelitian, paling banyak anak mengalami gangguan pertumbuhan. Mulai dari pemberian makanan yang memenuhi nilai gizi, edukasi, periksa kehamilan teratur, ikut posyandu teratur sampai berusia lima tahun dan imunisasi.
Alwia menegaskan, mau menetap di lingkar tambang atau di mana pun, cara penanganannya harus dilakukan bersama semua pihak yang memiliki peran sesuai tugas di tiap tingkatannya. Khusus para dokter, kata dia, berperan di fasilitas kesehatan dan memberikan edukasi ke masyarakat (orang tua-red) serta advokasi ke pihak yang berperan di tingkat lain, seperti PKK, pemda di level kelurahan, desa sampai provinsi maupun guru.
“Termasuk juga pihak swasta, seperti tambang ini perlu berperan dalam menekan angka stunting,” pungkas Alwia. (cr-01/rul)