Site icon MalutPost.com

Menghamba

Oleh: Hasman Sangaji

______

“Kopinya mas, 5ribu per gelas,”kata ibu tua, penjual kopi keliling yang sontak menyadarkan ku dari lamunan panjangku. Aku kemudian mencerna situasi yang ada lalu memutuskan untuk memesan segelas kopi.

“Terima kasih mas,”ucap si penjual kopi sedikit membungkuk lalu berlalu pergi.

Segelas kopi hitam dan sebungkus rokok menjadi temanku malam ini membunuh waktu. Aku sedari tadi menyendiri duduk di salah satu taman di pusat kota. Tak banyak yang aku lakukan, di tengah hiruk-pikuk manusia dan kendaraan yang lalu-lalang, ku amati satu per satu kesibukan orang-orang sekitar.

“Ternyata benar kata orang-orang disini semakin larut malah semakin ramai,”ucapku dalam hati.

“Apa gerangan yang ingin mereka cari?,”ucapku penuh tanya.

Di setiap sudut taman, dari yang terang, remang hingga gelap dipenuhi orang-orang yang lagi asyik nongkrong, bernyanyi, hingga berdiskusi bahkan ada beberapa pasangan anak muda yang lagi ngedate bercumbu mesra. “Tampaknya mereka sangat bahagia menikmati malam-malam panjang,”kataku.

Sesekali aku kembali memandangi mereka satu per satu, lalu sejurus kemudian menenggelamkan diri dalam lamunan panjangku hingga tak menyadari waktu berjalan begitu cepat.

Sruuppp… kuseruput kopi ku dengan kencang sebagai tanda menghabiskannya hingga tetes terakhir. Aku kemudian bersiap-siap untuk pulang, karena waktu kini pukul 02.05.

Langka ku terhenti ketika menyadari ada sebuah mobil Pajero Sport berhenti tepat di samping kanan. Sesaat aku berpikir kalau mobil tersebut memang mau menepi dan memarkirkan mobilnya. Tapi, ternyata aku salah.

Aku mematung untuk sesaat. Bola mataku mengarah kepada tiga orang wanita cantik yang keluar dari mobil. Dari penampilannya sudah pasti semua mata tertuju padanya.

Satu diantaranya menggenakan tank top crop yang dipadukan dengan rok pendek sementara dua lainnya menggenakan outer berbahan tipis dengan celana hitam pendek selutut, dilengkapi dengan high heels. Ketiganya berjalan menuju ke arahku.

Baca halaman selanjutnya…

Nadia, Amanda dan Berlian.

Ini adalah pertemuan pertama kita. Karena, bisa dipastikan seumur-umur aku hidup, aku belum pernah bertemu bahkan berpapasan sekalipun pun dengan ketiga-tiganya, salah satu, atau salah dua dari mereka.

“Halo bang, aku Nadia, ini temen saya Amanda dan Berlian,”ucap Nadia sembari menyodorkan tangannya hendak bersalaman denganku.

Ku sambut tangan Nadia, lalu memperkenalkan diri juga. Nama dan daerah asal, sudah cukup bagiku sebagai perkenalan awal sekaligus bentuk respect dari orang asing yang mengajak kenalan.

“Aku kira kamu dari Sulawesi,”kata Nadia sambil menyentuh lembut pundak kiriku lalu tersenyum.

Amanda dan Berlian pun ikut tersenyum kepadaku.

Sontak, aku teringat percakapan ku bersama dengan beberapa teman kerja seminggu setelah kedatanganku ke kota ini.

Flashback on

“Kalau butuh kehangatan dan belaian kasih sayang bisa kali main kesitu, kan sesekali gapapa ya asal jangan keterusan aja sih,”nyeletuk salah satu teman ku.

Seisi ruangan pun heboh dipenuhi canda tawa dari teman-teman lainnya. Sore itu, kami membahas salah satu taman di pusat kota yang sering kali menjadi tempat.

Bagi para Pekerja Seks Komersil (PSK) mencari pelanggan. Menarik bukan? topik pembahasan untuk ukuran para bujangan dengan usia yang terbilang siap untuk menikah namun belum juga kunjung menikah. Kami pun saling melempar tantangan untuk siapa yang berani ke taman tersebut. “Entar malam kita kesana, mau gak?” goda salah satu teman ku sembari merangkul.

Awalnya, aku berpikir bahwa itu celetukan temanku dan murni candaan. Makanya, saat itu tidak ku tanggapi serius malah sebaliknya ikut meramaikan suasana saja. Alasannya, karena sependek pengetahuanku, taman yang dimaksud itu diperuntukan sebagai tempat menjajakan aneka cemilan pada siang hingga sore hari.

Kalaupun hingga malam, itu pun karena jajanan yang dijual pedagang belum habis jadi nanggung kalau pulang awal. Makanya, ramainya taman tersebut sebatas pembeli yang datang kemudian nongkrong, para pedagang aktivitas lainnya seperti muda-mudi yang memanfaatkan sudut taman untuk berpacaran. Lalu, kalau udah capek dan bosan duduk ya mereka lantas pulang.

Tetapi, ternyata benar sependek itu pengetahuanku. Namun, untuk hitungan orang yang baru pindah ke daerah ini, wajar saja sih kalau aku belum tahu banyak apalagi soal tempat-tempat seperti itu. Namun, siapa sangka, ketidaksengajaan mampir justru membawa ku membuktikan kebenaran candaan teman-teman ku.

Flashback off

Dengan sedikit paksaan, aku coba mengajak ketiganya ngobrol di salah satu kedai terdekat.
“Kita gak bisa lama-lama Bang,”kata Nadia menolak.

Aku mengalah, kita pun melanjutkan percakapan sambil berdiri di tepi jalan. Aku bagaikan dikepung dari sisi depan, kanan dan kiri. Dari sudut mata kanan dan kiri, sesekali ku dapati orang-orang sekitar melihat ke arah kita berempat.

“Sendirian aja bang?,” tanya Amanda.

“Iya,” jawabku singkat.

Sedari awal, aku tahu betul niat hati ketiganya. Dari penampilan, komunikasi hingga bahasa tubuhnya, terlebih tempatnya yang memang semua orang sudah tahu itu daerah seperti apa sehingga sudah sangat jelas maksud dan tujuan mereka.

Sejujurnya, sebagai manusia biasa, lelaki mana yang dalam situasi seperti tidak tergoda. Apalagi, status ku yang belum menikah. Lagi dan lagi, aku yakinkan diri sendiri, agar tidak goyah apalagi terlena dengan ajakan mereka.

Baca halaman selanjutnya…

Aku dengan cepat mengakhiri percakapan ini, lalu pergi. Toh, aku kesini bukan untuk menerima tantangan dari teman-temanku tetapi karena ketidaksengajaan ku memilih mampir dan melepas kekalutan di benak dimana kekalutan itu berasal dari sesosok wanita yang aku cintai dan kini tengah ku perjuangkan hubungan ku bersama dia menuju ke arah yang lebih serius. Saking cintanya aku kepada sosok wanita tersebut, tak pernah aku membayangkan berikan mimpi buruk baginya hanya karena menuruti nafsu sesaat ku saat ini.

“Maaf mba, saya harus pamit,”ucapku sambil menjauh dan pergi meninggalkan ketiganya.

Dalam perjalanan pulang, aku mencermati kembali percakapan singkat ku dengan Nadia, Melinda dan Berlian.

Aku sadar bahwa Amanda, Melinda dan Berlian adalah barisan orang-orang yang dalam posisi tidak berhak memilih pekerjaan sesuai kehendak hati melainkan karena keterpaksaan karena kondisi hingga keterjebakan yang berkelanjutan.

Ketiganya memiliki senyuman yang manis, kulit putih hingga bentuk tubuh yang menarik. Singkatnya, tak ada satu pun dari mereka yang mau melakoni pekerjaan ini, bahkan sampai saat ini pun baik Amanda, Melinda dan Berlian ingin menyudahi pekerjaan namun kewajiban menafkahi anak, orang tua yang sudah renta di kampung halaman menjadi alasan terbesar ketiganya melakukan hal ini. Belum lagi, ancaman dicelakai sampai dibunuh jika berhenti dari pekerjaan saat ini menjadikan ketiganya masih menjalani meski penuh dengan keterpaksaan dan gejolak dalam batin.

Sayangnya, aku tidak bisa berbuat apa-apa bahkan setelah mendengar curhatan mereka. Malam berganti malam, mereka menjajakan tubuhnya kepada lelaki hidung belang. Uang yang didapatkan dikirim ke keluarga mereka di kampung. Tak dipungkiri, mereka cukup senang jika mendapatkan tip lebih dari pelanggan karena itu artinya bisa dilebihkan untuk uang jajanan anaknya maupun untuk diri mereka sendiri.

Pada akhirnya, hidup adalah soal perjalanan. Hitam putih perjalanan tiap manusia biarlah Tuhan yang menjudge. Sebagai manusia biasa, tugas kita hanyalah menjalani, tidak berpaling dari padaNYA dan terus menghamba tanpa mengenal lelah. (bersambung)

Exit mobile version