Menghamba

Nadia, Amanda dan Berlian.
Ini adalah pertemuan pertama kita. Karena, bisa dipastikan seumur-umur aku hidup, aku belum pernah bertemu bahkan berpapasan sekalipun pun dengan ketiga-tiganya, salah satu, atau salah dua dari mereka.
“Halo bang, aku Nadia, ini temen saya Amanda dan Berlian,”ucap Nadia sembari menyodorkan tangannya hendak bersalaman denganku.
Ku sambut tangan Nadia, lalu memperkenalkan diri juga. Nama dan daerah asal, sudah cukup bagiku sebagai perkenalan awal sekaligus bentuk respect dari orang asing yang mengajak kenalan.
“Aku kira kamu dari Sulawesi,”kata Nadia sambil menyentuh lembut pundak kiriku lalu tersenyum.
Amanda dan Berlian pun ikut tersenyum kepadaku.
Sontak, aku teringat percakapan ku bersama dengan beberapa teman kerja seminggu setelah kedatanganku ke kota ini.
Flashback on
“Kalau butuh kehangatan dan belaian kasih sayang bisa kali main kesitu, kan sesekali gapapa ya asal jangan keterusan aja sih,”nyeletuk salah satu teman ku.
Seisi ruangan pun heboh dipenuhi canda tawa dari teman-teman lainnya. Sore itu, kami membahas salah satu taman di pusat kota yang sering kali menjadi tempat.
Bagi para Pekerja Seks Komersil (PSK) mencari pelanggan. Menarik bukan? topik pembahasan untuk ukuran para bujangan dengan usia yang terbilang siap untuk menikah namun belum juga kunjung menikah. Kami pun saling melempar tantangan untuk siapa yang berani ke taman tersebut. “Entar malam kita kesana, mau gak?” goda salah satu teman ku sembari merangkul.
Awalnya, aku berpikir bahwa itu celetukan temanku dan murni candaan. Makanya, saat itu tidak ku tanggapi serius malah sebaliknya ikut meramaikan suasana saja. Alasannya, karena sependek pengetahuanku, taman yang dimaksud itu diperuntukan sebagai tempat menjajakan aneka cemilan pada siang hingga sore hari.
Kalaupun hingga malam, itu pun karena jajanan yang dijual pedagang belum habis jadi nanggung kalau pulang awal. Makanya, ramainya taman tersebut sebatas pembeli yang datang kemudian nongkrong, para pedagang aktivitas lainnya seperti muda-mudi yang memanfaatkan sudut taman untuk berpacaran. Lalu, kalau udah capek dan bosan duduk ya mereka lantas pulang.
Tetapi, ternyata benar sependek itu pengetahuanku. Namun, untuk hitungan orang yang baru pindah ke daerah ini, wajar saja sih kalau aku belum tahu banyak apalagi soal tempat-tempat seperti itu. Namun, siapa sangka, ketidaksengajaan mampir justru membawa ku membuktikan kebenaran candaan teman-teman ku.
Flashback off
Dengan sedikit paksaan, aku coba mengajak ketiganya ngobrol di salah satu kedai terdekat.
“Kita gak bisa lama-lama Bang,”kata Nadia menolak.
Aku mengalah, kita pun melanjutkan percakapan sambil berdiri di tepi jalan. Aku bagaikan dikepung dari sisi depan, kanan dan kiri. Dari sudut mata kanan dan kiri, sesekali ku dapati orang-orang sekitar melihat ke arah kita berempat.
“Sendirian aja bang?,” tanya Amanda.
“Iya,” jawabku singkat.
Sedari awal, aku tahu betul niat hati ketiganya. Dari penampilan, komunikasi hingga bahasa tubuhnya, terlebih tempatnya yang memang semua orang sudah tahu itu daerah seperti apa sehingga sudah sangat jelas maksud dan tujuan mereka.
Sejujurnya, sebagai manusia biasa, lelaki mana yang dalam situasi seperti tidak tergoda. Apalagi, status ku yang belum menikah. Lagi dan lagi, aku yakinkan diri sendiri, agar tidak goyah apalagi terlena dengan ajakan mereka.
Baca halaman selanjutnya...
Komentar