Lahan Tergerus, Kepala BPS: Picu Kemiskinan Baru
Tambang Datang, Petani Menghilang

Halmahera Tengah (Halteng), Maluku Utara, kini tidak seperti dulu, banyak berubah. Hutan lebat, kebun dengan taman yang subur nyaris tak lagi terlihat. Ibu-ibu membawa saloi (wadah untuk menaruh hasil kebun) atau para lelaki yang memegang parang dan karung saat pergi atau pulang dari kebun, nyaris tak kita jumpai jalan.
Padahal enam sampai 10 tahun lalu, pemandangan itu selalu kita lihat bila berkunjung ke Desa Lelilef, Sagea dan desa sekitarnya. Sejak tambang beroperasi secara masif di Halteng, yang terlihat hanya pekerja tambang yang lalu lalang hampir 24 jam tanpa henti.
Mereka yang bekerja siang akan berangkat pagi buta dan sorenya pulang. Lalu berganti bagi karyawan yang shift malam. Begitu seterusnya. Ruas jalan di kawasan tambang tak pernah sepi dengan kendaraan para pekerja.
Dulu, masyarakat menggantungkan hidupnya pada alam, bertani. Setelah tambang datang, petani pun hilang. Bukan tanpa alasan para petani yang masih berusia produktif itu beralih menjadi pekerja tambang. Sedangkan bagi petani yang mulai berusia senja memilih untuk mencari pekerjaan lain.
Salah satu alasan mereka tak lagi menjadi petani adalah karena tanah-tanah mereka terpaksa dijual untuk tambang. Selain itu penghasilan sebagai pekerja tambang jauh lebih menjanjikan ketimbang sebagai petani. Sejak pertambangan masuk di Halteng ada banyak lahan pertanian yang berkurang.
Data Dinas Pertanian Provinsi Maluku Utara (Malut) menunjukkan jumlah luas lahan tanam padi/sawah pada tahun 2013 sebesar 1.473 hektar. Menyusut menjadi 19,5 hektar pada tahun 2024. Sedangkan untuk luas lahan tanam pangan lain 185.826 hektar di tahun 2013 kini tinggal 1 hektar di tahun 2024.
Baca halaman selanjutnya...
Komentar