1. Beranda
  2. Opini
  3. Uncategorized

Akses Jalan Baru, Rethinking dari Tiongkok

Oleh ,

KETIKA Deng Xiaoping melonggarkan aturan ekonomi pada penghujung 1970-an, Tiongkok berdiri di simpang jalan sejarah. Negeri itu terbelah antara desa-desa yang terisolasi dan kota-kota yang bergerak lambat, logistik yang tersendat, serta mobilitas yang menggantung pada jaringan rel usang peninggalan masa Mao. Dalam situasi itu, jalan raya dipandang sebagai penanda zaman baru. Pemerintah pusat mengambil keputusan besar, membangun jaringan jalan nasional sebagai tulang punggung modernisasi. Dari sinilah gelombang pembangunan infrastruktur dimulai, bukan secara bertahap, tetapi mengalir deras seperti banjir yang menerobos dataran rendah.

Beijing menjadi panggung pertama ambisi besar itu. Pada awal 1980-an, proyek Ring Road kedua dikerjakan dengan mengikuti bekas jejak tembok kota tua. Tak lama kemudian menyusul jalan lingkar berikutnya, hingga kota itu berselimut enam ring road dalam waktu yang relatif singkat. Jalan-jalan baru itu memang memperlancar arus kendaraan, tetapi juga menyeret desa ke dalam kota, meratakan ladang gandum, dan membelah kanal tua yang sudah berusia ratusan tahun. Modernitas yang digadang-gadang hadir melalui sunyinya penghapusan ruang-ruang lama yang tak sempat berpamitan.

Chengdu mengalami perubahan tak kalah drastis. Kota yang selama berabad-abad bertumpu pada irigasi Dujiangyan dan hamparan sawah subur tiba-tiba dipasangi jalan lingkar, jalan tol, dan kawasan industri modern. Tanah yang dulu menghasilkan pangan bagi jutaan orang berganti rupa menjadi tapak beton. Tata ruang berubah cepat, meninggalkan pertanian/perkebunan tradisional di sisi jalan. Apa yang terjadi di Chengdu seolah mengulang yang terjadi di Beijing: kecepatan pembangunan menggeser ingatan agraris dan ekologi yang telah lama menjadi nafas kota.

Kepentingan Pembangunan Atau Hanya Sekadar Menjalankan Janji Politik?

Di balik semua percepatan itu, jalan raya bagi pemerintah Tiongkok bukan sekadar prasarana. Ia adalah alat politik dan ekonomi yang menentukan arah negara. Dengan jalan, barang bergerak lebih cepat, kota-kota baru lahir, investasi asing berdatangan, dan pemerintah pusat memperkuat kendalinya terhadap daerah. Tidak aneh jika proyek-proyek semacam itu digarap dengan tenggat waktu ketat dan anggaran luar biasa besar. Jalan diperlakukan sebagai instrumen untuk membentuk masa depan, bukan sebagai fasilitas transportasi belaka.

Namun satu hal yang tak banyak dibicarakan pada masa itu kini tampak jelas. Di balik kemajuan, Tiongkok menanggung biaya lingkungan yang tidak kecil. Hilangnya lahan pertanian memaksa negara itu mengandalkan impor pangan. Sungai-sungai kecil dan kanal yang ditutup demi membuka ruang jalan memperbesar risiko banjir. Beijing pernah tenggelam dalam kabut polusi yang ekstrem pada awal 2000-an, sementara Chengdu yang pernah dikenal hijau semakin kehilangan ruang terbukanya. Modernisasi yang dulu dielu-elukan ternyata menyimpan luka ekologis yang harus disembuhkan dengan upaya restorasi mahal.

Beberapa tahun terakhir, pemerintahan kota-kota besar Tiongkok mulai meninjau ulang warisan pembangunan tersebut. Pembatasan kendaraan diterapkan, kanal-kanal tua dibuka kembali, ruang hijau dipulihkan, dan ekspansi jalan dibatasi. Mereka mulai bicara tentang prioritas ekologis sebagai pondasi pembangunan, bukan sebagai embel-embel. Tiongkok sadar bahwa kilau kemajuan tidak boleh dibeli dengan kerusakan yang menumpuk dari tahun ke tahun.

Dan Apakah Kita Akan Belajar Dari Beijing dan Chengdu untuk Trans Kieraha?

Pulau Halmahera tidak sebesar pulau Jawa. Kita tidak bisa langsung berpikir pintas untuk segala hal harus secara praktis demi kepentingan ekonomi semata, seperti dengan pulau-pulau besar di Indonesia. Trans Kieraha di Maluku Utara berada di titik yang menentukan. Jalan ini “dipuji” beberapa kalangan dan pengamat sebagai penghubung utama Halmahera dan pembuka akses bagi desa-desa, tetapi pengalaman negara lain menunjukkan bahwa setiap pembangunan jalan membawa dua sisi. Ia bisa mempercepat pergerakan barang dan memberi peluang ekonomi baru, tetapi juga bisa mendorong pergeseran batas hutan, memecah wilayah konservasi, dan menghadirkan perubahan sosial yang lebih cepat dari kemampuan warga untuk menyesuaikannya.

Contoh dari Tiongkok memperlihatkan bagaimana jalan dapat mengubah lanskap jauh melampaui perkiraan. Ring Road Beijing menghilangkan kampung-kampung lama, sementara jalan lingkar Chengdu memisahkan masyarakat dari ekosistem yang menjadi bagian hidup mereka. Trans Kieraha hanya akan menjadi fondasi masa depan jika dibangun dengan kehati-hatian. Pulau memiliki daya pulih terbatas sehingga jalan perlu dirancang dengan perlindungan kawasan sensitif dan pandangan jangka panjang. Jika prinsip itu dipegang, Trans Kieraha bisa menjadi jalan menuju kesejahteraan yang merata, bukan menuju penyesalan ekologis di kemudian hari. Kita lihat saja nanti, jika mega proyek ini terlaksana apakah ada penyesalan ataukah tetap akan dibanggakan.(*)

Baca Juga