Kuburan Akal di Marabose

Yoesran Sangaji

Ironisnya, listrik berhenti di taman wisata milik seorang pengusaha China, “Taman Kasih Sayang.” Dan cahaya berhenti di batas kepemilikan modal.

Cerita Daiyan, yang merupakan suku Tobelo ini, hanyalah satu potret kecil dari sistem besar yang menumpuk masalah. Pejabat dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi dan Kabupaten datang di TPA hanya melihat, lalu pergi.

Tidak ada evaluasi dan tindak lanjut pada kenyataan yang berlangsung. Semua berjalan seperti sedia kala – sampah bertambah, solusi tak pernah tiba. Dan sampah tak pernah libur, tapi pemerintah sering.

Sebuah pengabaian fakta itu menunjukkan kebijakan pemerintah daerah kurang peduli pada lingkungan hidup di tengah perencanaan pengelolaan sampah yang tak jelas.

TPA misalnya, bukan lagi “Tempat Pembuangan Akhir,” melainkan “Tempat Penimbunan Abai”. Yang sedemikian itu bukan saja menumpuk di darat, sebagaimana yang terjadi di Marabose, Labuha, Amasing Kota, Panamboang, Tuwokona, Babang, (termasuk kali mati) – melainkan pada sungai.

Rawabadak salah satunya, sampah yang ditampung pinggir swering. Saat hujan, air kemudian membawanya, karena petugas kebersihan tidak mengangkutnya.

Perkara yang serupa juga muncul di pesisir. Tempat wisata di Omamoi dan Posi-Posi, dengan jenis sampah yang paling banyak ditemukan plastik, botol dan kaleng minuman, sisa rumah tangga, dan limbah wisata. Dan ini belum terhitung dengan pulau lainnya.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5 6

Komentar

Loading...