Kuburan Akal di Marabose

Yoesran Sangaji

Ia (Daiyan) tinggal di Desa Wayamiga bersama istri dan kedua anaknya, di rumah milik kakaknya. Anak pertama duduk di SMA, yang kedua di SMP.

Gajinya yang tak cukup untuk biaya kebutuhan sekolah, makan-minum, serta biaya bensin untuk sepeda motornya, ia tetap bekerja. Di siang hari, saat perut mulai terasa lapar, ia harus pulang ke rumah, karena di sini tak ada makanan, bahkan air minum pun tidak tersedia.

Dan demi pemenuhan hidup, ia bersama istrinya, mereka harus bekerja di TPA. Meski demikian, kini dengan istrinya, berjuang untuk membangun “rumah baru”. Lokasinya yang oleh orang ramai menyebutnya Sungai Ra – digunakan sebagai batas Wayamiga dan Marabose.

Dalam keterbatasan itu, ia berkata lirih, “rumah adalah harapan.” Sebuah kalimat yang sederhana, tetapi menggema dalam batin – yang menyimpan kisah perjuangan dan masa depan untuk anggota keluarganya.

Namun, tubuhnya mulai lelah. Di tengah obrolan tersebut, tanggannya menujuk sampah yang ditimbun itu penuh dengan gelisah dan keluh kesah. Ia mengeluh sakit kepala dan pusing – akibat paparan gas metana, bau, debu, dan panas.

Juga dukungan dari pemerintah daerah hampir tak pernah ada. Bahkan fasilitas penerangan pun nihil – tak ada listrik, tak ada genset, tak ada cahaya di malam hari.

Yang mula-mula, terdapat sebuah genset yang digunakan untuk menyinari halaman dan ruangan. Mereka tidur beralaskan tehel dingin tanpa tikar. Ketika bensinnya habis, mereka harus mengeluarkan uang untuk membelinya, termasuk dengan kebutuhan makan-minum.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5 6

Komentar

Loading...