Kuburan Akal di Marabose

Di sisi lain, sebuah bangunan menampung tumpukan botol plastik. Hanya ada dua mesin pres, dan sebagian besar plastik masih menumpuk dalam karung, belum dipilah. Di sini, daur ulang berhenti di tengah jalan – antara semangat dan keterbatasan, antara niat baik dan abainya dukungan.
Di tengah suasana itu, seorang lelaki duduk dalam kesendirian. Di sela hembusan angin dan pohon-pohon yang berukuran kecil bergerak, ia menggenggam sebatang rokok Shag Amor sembari mengeluarkan asap dari mulutnya. Namanya Daiyan.
Lelaki kelahiran 1979 itu, sudah enam tahun bekerja di TPA. Ia bukan hanya petugas keamanan, tetapi juga saksi dari bagaimana sistem pengelolaan sampah ini berjalan tanpa arah.
Dengan gaji 1,5 juta rupiah per bulan, tanpa pakaian dinas, tanpa masker, tanpa sarung tangan, tanpa sepatu pelindung, bahkan tanpa alat komunikasi seperti HT, Daiyan menjalankan pekerjaannya setiap hari di tengah risiko penyakit dan bahaya limbah.
Bersama dengannya, semuanya berjumlah tujuh orang, dan tiga belas pengumpul yang terdiri dari lima laki-laki dan delapan perempuan.
Mereka yang bekerja dengan lima mobil pengangkut dan hanya menjangkau sebagian besar desa di Bacan; Sayoang, Babang, Labuha, Panamboang, Tuwokona dan beberapa lainnya – dengan pendapatan para sopir sebanyak 2.250.000.
Lain halnya pekerjaan operator excavator. Ia mendapatkan upah 2.500.000 per bulan. Dalam sistem kerja yang terbatas itu, tak ada pilihan lain – mereka tetap memilih bertahan.
Baca Halaman Selanjutnya..





Komentar