HUT Malut ke-26, Bisa Apa?

Jainul Yusup

Selain ancaman terhadap kearifan lokal dan mata pencaharian, tantangan ekologis juga membayangi. Pengelolaan sumber daya alam, khususnya hutan dan kawasan pulau-pulau kecil, berada dalam tekanan besar.

Eksploitasi hutan, ancaman terhadap pulau-pulau kecil akibat oligarki industri, serta risiko bencana ekologis menjadi isu krusial yang memerlukan penanganan serius. Pertumbuhan yang tinggi tanpa keadilan ekologis dan sosial hanyalah kemunduran yang dibungkus dengan angka-angka.

Di usia ke-26, Maluku Utara, harus beranjak dari sekadar pertumbuhan angka, fokus pembangunan ke depan harus dialihkan dari dominasi sektor ekstraktif menuju pembangunan yang sustainable dan berkeadilan.

Pertama, penguatan kemandirian fiskal dan pembangunan infrastruktur merata. Meskipun pertumbuhan ekonomi Maluku Utara tertinggi, provinsi ini masih memiliki ketergantungan yang sangat tinggi pada pendapatan transfer dari Pemerintah Pusat.

Kemandirian fiskal yang rendah ini perlu diatasi dengan optimalisasi pendapatan asli daerah (PAD) yang bersumber dari kekayaan alam, namun diimbangi dengan kebijakan yang pro lingkungan.

Infrastruktur dasar seperti konektivitas (jalan, jembatan, pelabuhan) dan akses air, sanitasi, serta elektrifikasi perlu dipacu secara merata, terutama di desa-desa yang masih berstatus tertinggal.

Kedua, revitalisasi sektor potensial dan modal sosial. Pemerintah perlu mengembalikan posisi sektor pertanian (termasuk perikanan) dan perdagangan sebagai backbone ekonomi, bukan hanya industri pengolahan.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4

Komentar

Loading...