CERPEN: Ayah, Penulis Semua Mimpiku
DI meja belajar yang rapi, aku duduk sambilmenatap lembaran- lembaran kertas kosong. Penadi tanganku terasa berat, seolah ada beban yang tak kasatmata. Malam begitu tenang, hanya suara pendingin ruangan yang terdengar samar. Lampu meja yang temaram menyinari halaman kosong di depanku, sementara pikiranku melayang jauh. Aku ingin menulis tentang mimpiku, tentang semua pencapaianku sejauh ini. Namun, semakin aku mencoba, semakin aku sadar bahwa semua mimpiku sebenarnya telah ditulis seseorang sejak lama. Seseorang itu adalah Ayah.
Ayah bukan seorang penulis. Ia seorang pekerja keras, terbiasa dengan rapat-rapat panjang, jadwal yang padat, dan tanggung jawab besar.Namun bagiku, Ayah adalah penulis terhebat. Ia menulis jalan hidupku bukan dengan tinta dan kertas, melainkan dengan usaha, doa, dan pengorbanan yang tak terhitung jumlahnya.
Sejak kecil, aku tumbuh di rumah yang nyaman dan penuh kasih sayang. Hidup kami tidak pernah kekurangan, tetapi aku tahu semua itu tidak datang dengan mudah. Di balik kenyamanan itu, ada Ayah yang rela mengorbankan waktu istirahatnya untuk menghadiri pertemuan demi pertemuan. Ada Ayah yang selalu memikirkan caraterbaik agar aku mendapatkan pendidikan terbaik dan tumbuh menjadi pribadi yang mandiri. Ia tidak pernah mengeluh meski tubuhnya letih. Wajahnya mungkin terlihat lelah, tetapi ia selalu menyambutku dengan senyuman hangat setiap kali pulang.
Aku masih ingat, setiap kali aku menyebutkan cita-cita baru, Ayah tidak pernah meragukannya.Ia selalu berkata, “Kalau kamu sungguh-sungguh, Ayah akan dukung.” Kata-kata itu sederhana, tetapi di baliknya ada janji yang selalu ia tepati. Bahkan ketika keadaan sulit, Ayah tetap berusaha. Aku melihatnya lembur hingga larut malam, menyiapkan presentasi, menghadiri rapat, lalu pulang dengan senyum agar aku tidak merasa khawatir. Aku tahu ia lelah, tetapi iatidak pernah menunjukkan kelelahannya dihadapanku.
Kini, saat aku menginjak masa remaja dan mulai merancang masa depan, ada kalanya aku merasa takut gagal. Namun Ayah tidak pernah berhenti mendukung. Ia selalu punya cara menenangkanku, “Tak apa takut, yang penting terus melangkah.”Kalimat itu menjadi pegangan hidupku hingga hari ini. Setiap kali aku merasa ragu, aku selalu teringat wajahnya yang penuh keyakinan, seakan berkata bahwa aku mampu meraih apa pun yang kuimpikan.
Aku sering bertanya-tanya, apakah Ayah pernah punya mimpi untuk dirinya sendiri? Atau seluruh hidupnya ia dedikasikan untukku? Ia jarang bercerita tentang masa mudanya, tetapi aku tahu kebahagiaanku adalah kebanggaannya. Mungkin itulah mengapa ia rela bekerja sekeras itu—agaraku dapat meraih mimpi- mimpiku dengan lebih mudah dari pada dirinya dahulu. Aku sadar, setiap langkahku menuju masa depan adalah hasil dari doa dan kerja kerasnya.
Kadang, di tengah kesibukan sekolah, aku melihat Ayah masih terjaga larut malam. Lampu ruangkerja menyala, dan dari balik pintu yang sedikit terbuka, aku melihatnya duduk sambil menatap layar komputer. Di meja kerjanya ada secangkirkopi yang sudah dingin. Aku terdiam, memperhatikannya sebentar. Aku ingin masuk dan menemaninya, tetapi aku tahu ia lebih suka aku beristirahat.
Momen-momen seperti itu membuatku sadar, Ayah tidak hanya membangun masa depan untuk dirinya sendiri, tetapi juga untukku. Semua yangia lakukan adalah bentuk cinta yang mungkin tidak selalu diucapkan dengan kata-kata, tetapi selalu terasa dalam tindakannya.
Aku juga masih mengingat setiap pagi, ketika Ayah mengantarku ke sekolah. Di tengah rasa kantuknya, ia tetap semangat mengobrol di perjalanan, menanyakan kabarku, dan memberi semangat kecil. Kadang, saat aku sedang merasa takut menghadapi ujian atau perlombaan, Ayah selalu punya cara membuatku percaya diri.“Ayah percaya kamu bisa,” ucapnya singkat, tapi kalimat itu selalu berhasil membuatku merasakuat.
Malam ini, aku menulis kisah tentang Ayah. Bukan untuk dipublikasikan, tetapi untuk mengingatkan diriku betapa besar perannya dalam hidupku. Ayah tidak pernah menulis buku yang bisa dibaca orang banyak, tetapi ia menulis satu karya terbaiknya, yaitu aku, anaknya. Karya itu ia bentuk dengan pengorbanan, ia hiasi dengan doa, dan ia rawat dengan kasih sayang.
Aku tahu, suatu hari nanti aku akan tumbuh dewasa, mungkin jauh dari rumah, mengejar mimpi-mimpi yang telah Ayah perjuangkan sejak aku kecil. Namun, aku tidak akan pernah lupa siapa penulis pertama dalam kisah hidupku. Setiap kesuksesan yang kucapai, setiap mimpi yang kugenggam, adalah bagian dari dedikasi Ayah yang tidak pernah mengenal lelah.
Ayah, penulis semua mimpiku, terima kasihkarena telah mengorbankan waktu, tenaga, dan kenyamananmu agar aku dapat meraih cita-citaku. Aku berjanji akan terus menulis kisah ini dengan baik, agar dunia tahu bahwa di balik semua keberhasilanku, ada seorang lelaki hebat yang menulis dengan hati, seseorang itu adalah Ayah. ayah yang menjadikan hidupku sebagai karya terbaiknya.
“
Ayah, Penulis Semua Mimpiku
Karya:
Hilya Aulia J. Usman
Di meja belajar yang rapi, aku duduk sambilmenatap lembaran- lembaran kertas kosong. Penadi tanganku terasa berat, seolah ada beban yang tak kasatmata. Malam begitu tenang, hanya suara pendingin ruangan yang terdengar samar. Lampu meja yang temaram menyinari halaman kosong di depanku, sementara pikiranku melayang jauh. Aku ingin menulis tentang mimpiku, tentang semua pencapaianku sejauh ini. Namun, semakin aku mencoba, semakin aku sadar bahwa semua mimpiku sebenarnya telah ditulis seseorang sejak lama. Seseorang itu adalah Ayah.
Ayah bukan seorang penulis. Ia seorang pekerja keras, terbiasa dengan rapat-rapat panjang, jadwal yang padat, dan tanggung jawab besar.Namun bagiku, Ayah adalah penulis terhebat. Ia menulis jalan hidupku bukan dengan tinta dan kertas, melainkan dengan usaha, doa, dan pengorbanan yang tak terhitung jumlahnya.
Sejak kecil, aku tumbuh di rumah yang nyaman dan penuh kasih sayang. Hidup kami tidak pernah kekurangan, tetapi aku tahu semua itu tidak datang dengan mudah. Di balik kenyamanan itu, ada Ayah yang rela mengorbankan waktu istirahatnya untuk menghadiri pertemuan demi pertemuan. Ada Ayah yang selalu memikirkan caraterbaik agar aku mendapatkan pendidikan terbaik dan tumbuh menjadi pribadi yang mandiri. Ia tidak pernah mengeluh meski tubuhnya letih. Wajahnya mungkin terlihat lelah, tetapi ia selalu menyambutku dengan senyuman hangat setiap kali pulang.
Aku masih ingat, setiap kali aku menyebutkan cita-cita baru, Ayah tidak pernah meragukannya.Ia selalu berkata, “Kalau kamu sungguh-sungguh, Ayah akan dukung.” Kata-kata itu sederhana, tetapi di baliknya ada janji yang selalu ia tepati. Bahkan ketika keadaan sulit, Ayah tetap berusaha. Aku melihatnya lembur hingga larut malam, menyiapkan presentasi, menghadiri rapat, lalu pulang dengan senyum agar aku tidak merasa khawatir. Aku tahu ia lelah, tetapi iatidak pernah menunjukkan kelelahannya dihadapanku.
Kini, saat aku menginjak masa remaja dan mulai merancang masa depan, ada kalanya aku merasa takut gagal. Namun Ayah tidak pernah berhenti mendukung. Ia selalu punya cara menenangkanku, “Tak apa takut, yang penting terus melangkah.”Kalimat itu menjadi pegangan hidupku hingga hari ini. Setiap kali aku merasa ragu, aku selalu teringat wajahnya yang penuh keyakinan, seakan berkata bahwa aku mampu meraih apa pun yang kuimpikan.
Aku sering bertanya-tanya, apakah Ayah pernah punya mimpi untuk dirinya sendiri? Atau seluruh hidupnya ia dedikasikan untukku? Ia jarang bercerita tentang masa mudanya, tetapi aku tahu kebahagiaanku adalah kebanggaannya. Mungkin itulah mengapa ia rela bekerja sekeras itu—agaraku dapat meraih mimpi- mimpiku dengan lebih mudah dari pada dirinya dahulu. Aku sadar, setiap langkahku menuju masa depan adalah hasil dari doa dan kerja kerasnya.
Kadang, di tengah kesibukan sekolah, aku melihat Ayah masih terjaga larut malam. Lampu ruangkerja menyala, dan dari balik pintu yang sedikit terbuka, aku melihatnya duduk sambil menatap layar komputer. Di meja kerjanya ada secangkirkopi yang sudah dingin. Aku terdiam, memperhatikannya sebentar. Aku ingin masuk dan menemaninya, tetapi aku tahu ia lebih suka aku beristirahat.
Momen-momen seperti itu membuatku sadar, Ayah tidak hanya membangun masa depan untuk dirinya sendiri, tetapi juga untukku. Semua yangia lakukan adalah bentuk cinta yang mungkin tidak selalu diucapkan dengan kata-kata, tetapi selalu terasa dalam tindakannya.
Aku juga masih mengingat setiap pagi, ketika Ayah mengantarku ke sekolah. Di tengah rasa kantuknya, ia tetap semangat mengobrol di perjalanan, menanyakan kabarku, dan memberi semangat kecil. Kadang, saat aku sedang merasa takut menghadapi ujian atau perlombaan, Ayah selalu punya cara membuatku percaya diri.“Ayah percaya kamu bisa,” ucapnya singkat, tapi kalimat itu selalu berhasil membuatku merasakuat.
Malam ini, aku menulis kisah tentang Ayah. Bukan untuk dipublikasikan, tetapi untuk mengingatkan diriku betapa besar perannya dalam hidupku. Ayah tidak pernah menulis buku yang bisa dibaca orang banyak, tetapi ia menulis satu karya terbaiknya, yaitu aku, anaknya. Karya itu ia bentuk dengan pengorbanan, ia hiasi dengan doa, dan ia rawat dengan kasih sayang.
Aku tahu, suatu hari nanti aku akan tumbuh dewasa, mungkin jauh dari rumah, mengejar mimpi-mimpi yang telah Ayah perjuangkan sejak aku kecil. Namun, aku tidak akan pernah lupa siapa penulis pertama dalam kisah hidupku. Setiap kesuksesan yang kucapai, setiap mimpi yang kugenggam, adalah bagian dari dedikasi Ayah yang tidak pernah mengenal lelah.
Ayah, penulis semua mimpiku, terima kasihkarena telah mengorbankan waktu, tenaga, dan kenyamananmu agar aku dapat meraih cita-citaku. Aku berjanji akan terus menulis kisah ini dengan baik, agar dunia tahu bahwa di balik semua keberhasilanku, ada seorang lelaki hebat yang menulis dengan hati, seseorang itu adalah Ayah. ayah yang menjadikan hidupku sebagai karya terbaiknya.
“Ayahku tidak memberitahuku cara hidup; ia menjalani hidupnya, dan membiarkanku melihat caranya.” -Clarence Budington Kellan. (*)