Pendidikan dan Feodalisme: Menjebol Tembok Pengkultusan, Menegakkan Martabat Akal

Oleh:Zulfikran Bailussy (Ketua LBH Ansor Kota Ternate)

FEODALISME dalam pendidikan baik di pesantren maupun sekolah formal bukan sekadar kesalahan teknis, tetapi warisan sejarah yang diam-diam diwariskan dari generasi ke generasi. Ia lahir dari struktur kekuasaan kerajaan dan kolonialisme, lalu menyusup ke dunia pendidikan dalam bentuk penghormatan yang berubah menjadi pengkultusan. Guru dan kyai dianggap makhluk otoritatif yang tidak boleh dikritik, sementara murid dan santri diposisikan hanya untuk menerima, bukan berdialog. Padahal pendidikan seharusnya menjadi taman akal, bukan istana kekuasaan.

Akar Historis Feodalisme: Dari Istana Feodal ke Panggung Pendidikan

Sejarah Nusantara dipenuhi warisan hierarki: raja di atas, rakyat di bawah. Pola itu diteruskan oleh kolonialisme, dan setelah merdeka, ia tidak lenyap. Ia bermigrasi secara halus:

• Dari singgasana ke meja pimpinan,

• Dari istana ke kelas,

• Dari takhta ke podium guru dan kyai.

Maka, ruang pendidikan menjadi arena kepatuhan, bukan laboratorium pemikiran. Murid tidak dilihat sebagai pencari kebenaran, tetapi sebagai pengikut tak bersuara.

Islam: Agama yang Memuliakan Akal, Bukan Fanatisme Buta

Islam tidak mengenal pengultusan manusia. Para ulama terdahulu membangun tradisi ijtihad dan munaqasyah (perdebatan ilmiah). Imam Abu Hanifah bahkan dikenal berkata kepada muridnya, “Jika engkau menemukan pandangan yang lebih kuat dari dalilku, ikutilah kebenaran itu, bukan aku.”

Inilah ruh pendidikan Islam: dialog, kritik, dan pencarian kebenaran. Maka ketika ada institusi pendidikan yang menolak pertanyaan, sebenarnya yang ditolak bukan murid tetapi warisan intelektual Islam itu sendiri.

Paulo Freire dan Kritik terhadap Pendidikan Feodal

Paulo Freire menyebut pendidikan semacam ini sebagai banking education:

• Guru menjadi deposan pengetahuan,

• Murid menjadi celengan kosong,

• Tidak ada percakapan, hanya diktat.

Menurut Freire, pendidikan yang menolak kritik hanyalah perpanjangan kekuasaan. Murid dibentuk bukan untuk merdeka, tetapi untuk tunduk.

Pemikir pendidikan lain seperti Ivan Illich menegaskan bahwa sekolah bisa menjadi mesin legitimasi sosial—mencetak bukan pemikir, tetapi penerima tatanan.

Pesantren dan Sekolah Formal: Dua Wajah, Satu Luka

Kita sering menuding pesantren sebagai ruang yang feodal. Namun sekolah formal pun sama saja.

• Di sekolah, murid yang bertanya dianggap melawan.

• Di pesantren, santri yang mengkritik disalahkan karena dianggap kurang ta’dzim.

Pada titik ini, masalahnya bukan institusi, tetapi mentalitas: keengganan menerima kritik, ketakutan terhadap akal.

Pendidikan yang menolak pertanyaan akan melahirkan bangsa yang menolak pencerahan.

Menuju Generasi Rasional, Beradab, dan Berkebudayaan. Perjuangan melawan feodalisme pendidikan bukanlah perlawanan terhadap guru atau kyai. Justru ini adalah pembelaan terhadap martabat ilmu.

Kita ingin melahirkan:

• Santri dan pelajar rasional berani berpikir dan bertanya,

• Manusia berkebudayaan setia pada akar sejarah, terbuka pada perubahan,

• Insan beradab yang mampu mengkritik dengan hormat, dan hormat tanpa harus membisu.

Guru tetap guru, kyai tetap kyai tetapi kebenaran tetap lebih tinggi dari keduanya.

Penutup: Pendidikan Merdeka, Umat Berdaulat

Feodalisme dalam pendidikan harus diakhiri demi menyucikan ilmu, bukan menjatuhkan otoritas. Pendidikan yang sehat tidak menakuti murid dengan wibawa, tetapi mengundang mereka melalui argumentasi.

Karena umat yang beradab lahir bukan dari ketakutan, tetapi dari keberanian mencari kebenaran.

“Kita hormat bukan karena takut, tapi karena tahu. Kita ta’dzim bukan karena takhta, tetapi karena akhlak.” (*)

Komentar

Loading...