Sumpah Pemuda Menggema Tanpa Suara
Bahasa Indonesia di Ujung Tanduk

Pemuda Indonesia Berbahasa Indonesia
Sumpah Pemuda bukan sekadar teks yang dibacakan tiap Oktober. Ia adalah napas perjuangan yang menegaskan bahwa bahasa adalah perekat bangsa, jantung yang membuat Indonesia tetap berdetak di tengah zaman.
Kini, di abad digital, sumpah itu harus bergema dengan makna baru yakni, dari bahasa persatuan menuju bahasa peradaban dunia.
Jika pemuda 1928 bersumpah menjunjung bahasa persatuan, maka pemuda 2025 seharusnya bersumpah menjunjung bahasa kebanggaan.
Jangan biarkan Bahasa Indonesia menjadi tamu di rumahnya sendiri. Jangan biarkan bahasa asing menjadi tuan di ruang pikir kita. Sebab kehilangan bahasa berarti kehilangan jati diri, kehilangan rumah tempat bangsa berpulang.
Bahasa Indonesia bukan sekadar alat tukar kata, melainkan wadah jiwa bangsa, cermin yang memantulkan siapa kita di hadapan dunia. Ia tak boleh pudar hanya karena gengsi digital dan tren global yang meninabobokan.
Di tangan pemuda, bahasa ini seharusnya tumbuh menjadi pohon peneduh peradaban, bukan daun gugur di halaman globalisasi.
Sebab bila bahasa ini mati rasa di lidah pemudanya, maka yang akan punah bukan sekadar kata, melainkan makna keindonesiaan itu sendiri. Dan ketika makna itu hilang, yang tersisa hanyalah gema sumpah lama, tanpa roh, tanpa arah, tanpa nyala. (*)
Komentar