Sumpah Pemuda Menggema Tanpa Suara
Bahasa Indonesia di Ujung Tanduk

Akademisi perlu berhenti merasa “kurang intelektual” hanya karena menulis dalam Bahasa Indonesia. Sebab ilmu tanpa akar bahasa sendiri adalah ilmu yang kehilangan jati diri. Kedua, diplomasi bahasa yang aktif dan adaptif.
Program Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) seharusnya tidak hanya mengenalkan tata bahasa, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dan kebudayaan Indonesia.
Guru dan pengajar BIPA di luar negeri perlu didukung dengan kurikulum yang kontekstual, agar Bahasa Indonesia tak berhenti sebagai pelajaran, tapi menjadi pengalaman. Ketiga, kebanggaan nasional yang dimulai sejak dini.
Anak-anak harus dibiasakan mencintai Bahasa Indonesia bukan karena kewajiban, tetapi karena kesadaran. Sekolah, media, dan ruang publik semestinya menjadi laboratorium bahasa yang hidup, di mana tutur kata adalah identitas, bukan sekadar formalitas.
Sebab bagaimana mungkin dunia menghormati Bahasa Indonesia, jika penuturnya sendiri masih malu menggunakannya?
Bahasa Indonesia punya potensi besar. Struktur gramatikalnya sederhana, fonetiknya mudah dipelajari, dan jumlah penuturnya mendekati 300 juta jiwa. Ia bisa menjadi lingua franca baru di Asia Tenggara.
Tapi semua itu akan sia-sia bila para pemuda lebih sibuk memperdebatkan slang ketimbang memperjuangkan substansi. Sebab bahasa yang tak dijaga dari akar pendidikan akan rapuh di puncak peradaban.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar