Sumpah Pemuda Menggema Tanpa Suara
Bahasa Indonesia di Ujung Tanduk

Tantangan Serius, Pemuda di Persimpangan Bahasa
Inilah yang mestinya menggugah nurani para pemuda. Mereka yang dulu berani bersumpah, kini terjebak dalam euforia digital yang mematikan rasa kebangsaan.
Kaum muda lebih suka meniru trendsetter luar negeri daripada menjadi penjaga warisan linguistik sendiri. Bahasa Indonesia dianggap usang, tak gaul, tak relevan. Padahal, tak ada bangsa besar tanpa kebanggaan terhadap bahasanya.
Pemuda hari ini seharusnya menjadi “juru bicara bangsa” di ruang global. Tapi sayangnya, banyak yang justru menjelma menjadi “penyampai pesan asing” di tanah sendiri.
Ketika mereka mengabaikan tata bahasa, menyingkat kata seenaknya, dan mencampuradukkan istilah tanpa makna, saat itu pula mereka sedang mengikis keagungan bahasanya sendiri.
Mereka lupa bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tapi rumah bagi pikiran dan kebudayaan. Bila rumah itu dibiarkan retak, maka runtuhlah pilar identitas. Pemuda Indonesia harus sadar: memperjuangkan bahasa bukan pekerjaan masa lalu, tapi tugas peradaban.
Menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional bukan perkara mudah. Ia butuh lebih dari sekadar seremoni dan piagam penghargaan. Ada tiga hal mendesak yang perlu dibenahi agar bahasa ini tak sekadar menjadi slogan nasional, melainkan kekuatan kultural yang nyata.
Pertama, penguatan fungsi ilmiah dan digital bahasa. Bahasa Indonesia harus hidup di jurnal ilmiah, riset teknologi, dan kecerdasan buatan, bukan hanya di ruang kelas dan buku teks.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar