Sumpah Pemuda Menggema Tanpa Suara

Bahasa Indonesia di Ujung Tanduk

Irfan Efendi 

Padahal, sejarah mencatat, Bahasa Indonesia pernah menjadi “peluru ideologis” dalam perjuangan kemerdekaan. Ia menyatukan suku, agama, dan daerah menjadi satu kesadaran kebangsaan.

Kini, peluru itu seolah tumpul dan tak lagi ditembakkan oleh para pemuda. Mereka lebih sibuk mempercantik caption ketimbang menata diksi. Lebih bangga update story dalam bahasa Inggris ketimbang menulis refleksi dalam bahasa sendiri.

“Kalau bahasa adalah cermin kepribadian, maka kaca itu kini mulai buram”

Pemerintah sebenarnya tak tinggal diam. Sejak Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, negara menegaskan tekad menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional secara bertahap.

Program BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing) berkembang pesat; kini hadir di puluhan negara. Ribuan mahasiswa asing mempelajari Bahasa Indonesia sebagai bagian dari diplomasi budaya. Bahkan UNESCO sudah memberi tempat terhormat dengan menjadikannya bahasa resmi sidang.

Namun, pengakuan itu baru sebatas pintu pembuka. Jalan menuju internasionalisasi bahasa masih panjang dan berliku. Bahasa Indonesia baru “dikenal”, belum “dipahami”. Ia baru “dihargai”, belum “digunakan” secara luas dalam sains, ekonomi, atau diplomasi global.

Belum banyak karya ilmiah internasional yang menggunakan Bahasa Indonesia. Dunia mungkin mengucapkan “selamat”, tapi belum menjadikannya bahasa pergaulan.

Artinya, pengakuan UNESCO belum bisa kita rayakan dengan gegap gempita. Tanpa kesiapan akademik, literasi, dan kesadaran nasional, cita-cita itu hanya akan menjadi mimpi di atas awan.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5

Komentar

Loading...