Sumpah Pemuda Menggema Tanpa Suara
Bahasa Indonesia di Ujung Tanduk

Oleh: Irfan efendi
(Pascasarjana Pend. Bahasa Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang)
Menuju sembilan puluh tujuh tahun sejak para pemuda mengucap ikrar keramat, “Kami mengaku berbangsa satu, bertanah air satu, dan menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.”
Namun kini, ikrar itu kian samar terdengar di tengah riuh rendah bahasa asing yang berseliweran di gawai para pemuda.
Sumpah itu, yang dulu lahir dari semangat persatuan, kini seperti tinggal isapan jempol di layar-layar media sosial. Bahasa Indonesia, yang dulu jadi perekat bangsa, kini berdiri di ujung tanduk menghadapi derasnya arus kemalasan berbahasa yang kian akut.
Di saat dunia memberi penghormatan dengan menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi Sidang Umum UNESCO pada 20 November 2023, justru di dalam negeri, generasi muda sibuk bercakap dalam bahasa campur aduk.
Bahasa baku dianggap kaku, sementara bahasa asing dijadikan simbol keren dan intelektual. Ironis, bukan? Di saat dunia mulai melirik Bahasa Indonesia, pemiliknya sendiri malah berpaling.
Fakta-fakta kebahasaan hari ini sungguh memprihatinkan. Di ruang digital, anak muda lebih fasih mengucap “let’s go guys” ketimbang “ayo teman-teman”. Di kampus dan perkantoran, rapat-rapat internal sering dibuka dengan “meeting agenda” alih-alih “agenda rapat”.
Sementara di dunia maya, bahasa campur kode seperti “aku literally nggak bisa” menjadi keseharian. Fenomena ini bukan sekadar soal gaya, tapi gejala pudarnya kesadaran linguistik atau berbahasa Indoneisa sebagai jati diri bangsa.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar