1. Beranda
  2. Sastra
  3. Uncategorized

CERPEN: Janji-Mu Seperti Fajar

Oleh ,

MALAM yang gelap pun berganti fajar. Matahari pagi menyusup dari celah tirai, menyoroti debu yang menari di udara. Edward terbangun dari tidurnya yang lelap, tadi malam adalah malam terlama baginya. Ia merasakan dirinya baru saja diberikan kekuatan yang ia sendiri tidak bisa dia jelaskan, namun inilah kehidupan Edward, seorang pemuda yang kehilangan jati dirinya dan tidak ada lagi gairah di hidupnya. Ia acuh terhadap mimpi itu, “Ah, mimpi apa itu ? Tidak jelas !”

Bagi Edward, pemandangan itu terasa hampa. Hidupnya selama 2 tahun terakhir terasa seperti tumpukan benang kusut yang tak kunjung terurai. Setiap hari, ia bangun dengan beban berat di dada. Bisnis percetakan yang ia rintis bersama ayahnya terancam bangkrut. Ayahnya sakit-sakitan, biaya pengobatan terus membengkak, dan tagihan utang menumpuk.

Edward menghela napas, menatap layar laptop yang menampilkan angka-angka merah. Ia sudah mencoba segalanya mengajukan pinjaman, mencari investor, bahkan bekerja sampingan. Namun, semua usahanya seakan sia-sia. Masalah demi masalah terus berdatangan, menciptakan badai yang tak berkesudahan dalam hidupnya.

Edward adalah orang yang jarang beribadah, meskipun Alkitab terlihat berjejer di rak bukunya tetapi benda itu hanya menjadi pajangan di ruangannya. Sungguh malang nasibnya. Ia melupakan satu hal yang bisa-bisa saja memutarbalikkan hidupnya segampang membalikkan telapak tangan.

Suatu sore, Edward menemukan dirinya duduk di tepi pantai, tempat favoritnya saat kecil. Ia menunduk, menatap pantulan wajahnya yang lelah di permukaan air. Tiba-tiba, ia merasakan seluruh bebannya terlalu berat. Ia sudah berada di titik terendah, dan rasanya, ia ingin menyerah saja. Air matanya menetes, bercampur dengan air laut yang dingin.

Tepat saat ia merasa putus asa, sebuah suara mengagetkannya. "Bagus, ya, pemandangannya?"

Edward menoleh, melihat seorang kakek tua dengan wajah ramah tersenyum padanya. Kakek itu duduk di sampingnya, lalu mengeluarkan sebuah buku tua dan pena dari tasnya. Edward hanya diam, terlalu lelah untuk berbicara.

"Hidup ini seperti menulis buku," kata sang kakek, "Kadang, ada bab-bab yang sulit dan penuh konflik. Tapi, bukan berarti ceritanya sudah selesai, kan?"

Edward menatap kakek itu dengan bingung. "Kalau semua babnya sulit, bagaimana saya tahu kalau ceritanya akan berakhir bahagia?"

Kakek itu tertawa ringan. "Justru itu. Kita tidak pernah tahu. Tapi, kita selalu bisa memulai bab yang baru. Kadang, bantuan datang dari hal yang tak terduga."

Edward termenung. Kata-kata kakek itu seakan menenangkan badai di hatinya. Ia kembali ke rumah dengan perasaan sedikit lebih baik, meskipun bebannya belum hilang. Ia akhirnya kembali memikirkan mimpi itu, “Mungkin ini pertanda yang diberikan Tuhan. Aku sudah tidak pernah beribadah lagi.” Sangat kebetulan besoknya adalah hari Minggu. “Benar, besok aku harus segera ke Gereja !”

Beberapa hari kemudian, setelah ia kembali ke jalan yang benar, dan memulai hidupnya dengan semangat dengan hati yang lebih tenang. Tak lupa ia mengawali harinya dengan doa, ia berterima kasih dan bersyukur untuk hari yang baru ini. Saat Edward sedang menata kembali berkas-berkas di kantornya, ia menemukan selembar kertas lusuh di dalam laci meja ayahnya. Kertas itu berisi coretan tangan ayahnya, sebuah sketsa desain produk kemasan yang unik dan belum pernah ia lihat sebelumnya. Tiba-tiba, ide muncul di benaknya.

Ia menghabiskan malam itu dengan mengembangkan sketsa ayahnya menjadi sebuah proposal. Desain kemasan yang fungsional dan ramah lingkungan itu adalah ide yang revolusioner. Edward segera menghubungi beberapa kenalan dan menunjukkan proposalnya. Tak disangka, salah satu kenalannya, seorang pengusaha muda yang peduli lingkungan, tertarik.

Pengusaha itu tidak hanya setuju untuk bekerja sama, tetapi juga menawarkan investasi yang cukup besar. Edward tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Dalam hitungan minggu, kerja sama itu terjalin. Bisnis percetakan yang nyaris bangkrut kini mendapatkan napas baru. Uang dari investasi itu cukup untuk membayar utang dan biaya pengobatan ayahnya.

Sama seperti fajar, setiap kesulitan dan kegagalan adalah kesempatan untuk memulai kembali. Kegelapan yang kita lalui, rasa sakit, kekecewaan, dan keputusasaan adalah bagian dari proses. Namun, di ujungnya selalu ada fajar, sebuah awal yang baru yang membawa harapan dan energi untuk melangkah.

Hidup Edward memang belum sempurna, tetapi ia tidak lagi merasa sendirian. Ia tahu bahwa ia memiliki tujuan, dan ia bersyukur bahwa ia tidak menyerah. Kisah hidupnya yang rumit kini mulai menemukan jalan terang. Ia menyadari bahwa di balik setiap masalah, selalu ada kesempatan, dan harapan sering datang dalam bentuk yang paling tak terduga. Seperti kata sang kakek, bab yang sulit telah usai, dan kini saatnya memulai bab yang baru.

Sekarang, setiap kali fajar menyingsing, aku melihat janji itu. Janji yang tak pernah padam, yang selalu datang, membawaku pada kebahagiaan yang tak pernah kuduga. Aku tahu, kau akan selalu ada di hatiku, dan aku akan selalu mencintaimu, selamanya.

Edward menatap ponselnya, membaca pesan singkat dari ayahnya yang baru saja selesai menjalani operasi. “Semua berjalan lancar, Nak. Terima kasih karena sudah berjuang,” bunyi pesan itu. Air mata haru menggenang di matanya. Dulu, ia selalu merasa sendiri dalam menghadapi badai. Sekarang, ia tahu bahwa ia tidak pernah sendirian. Tangan Tuhan bekerja melalui orang-orang di sekitarnya, bahkan melalui sketsa lusuh yang selama ini tersembunyi.

Sore itu, Edward sengaja kembali ke pantai yang sama, tempat ia bertemu dengan sang kakek. Ia berharap bisa menemukan kakek itu lagi, sekadar untuk mengucapkan terima kasih. Namun, yang ia temukan hanyalah deburan ombak dan senja yang memudar. Ia tersenyum. Kakek itu mungkin sudah pergi, tetapi kata-katanya akan selalu ia simpan. “Hidup ini seperti menulis buku,” kalimat itu menjadi pengingat yang kuat, bahwa setiap kesulitan adalah bab yang bisa dilalui.

Edward kini menyadari, kebahagiaan sejati bukanlah hilangnya masalah, melainkan kemampuan untuk menghadapinya dengan keyakinan. Ia masih memiliki tantangan baru mengembangkan bisnis, menjaga kesehatan ayahnya, dan membangun kembali hubungan yang sempat renggang. Namun, ia tidak lagi melihatnya sebagai beban, melainkan sebagai bab-bab baru yang menunggu untuk ditulis. Ia tidak lagi takut pada kegelapan, karena ia tahu, fajar akan selalu datang.

Edward sekarang adalah pribadi yang berbeda. Ia tidak lagi terasing dari imannya. Ia bangun lebih pagi, bukan hanya untuk bekerja, tetapi untuk berdoa dan bersyukur. Ia menemukan kekuatan yang tidak ia dapatkan dari uang atau koneksi, melainkan dari kedamaian hati. Malam yang gelap telah berubah menjadi fajar yang cerah, dan ia menyambut setiap hari dengan sukacita, karena ia tahu, Tuhan tidak pernah meninggalkannya sendirian.(*)

Baca Juga