Problematika DPR Indonesia: Kedaulatan Rakyat yang Tergadai

Ardi Turege

Robert Michels dalam Iron Law of Oligarchy menegaskan bahwa setiap organisasi besar akan dikuasai oleh segelintir elite. Fenomena ini nyata di tubuh DPR.

Partai tidak sekadar menjadi kendaraan politik, melainkan pengendali sikap dan keputusan legislator, mulai dari penentuan calon hingga pengaturan posisi strategis di parlemen ketua komisi, badan legislasi, hingga arah pembahasan undang-undang.

Teori representasi Hanna Pitkin membedakan representasi formal dan substantif: DPR mungkin terpilih secara formal, namun gagal menjalankan representasi substantif ketika kebijakan yang lahir lebih mementingkan agenda partai daripada aspirasi rakyat.

Dominasi partai mendorong suburnya politik transaksional. Pembahasan undang-undang, pengawasan anggaran, hingga fit and proper test kerap menjadi ajang tawar-menawar kepentingan.

Legislator tidak jarang “berdagang pengaruh” demi keuntungan politik maupun ekonomi pribadi atau kelompok. Skandal korupsi yang melibatkan anggota DPR menjadi bukti telanjang.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, sejak 2004 hingga 2024, DPR dan DPD menempati posisi ketiga dengan 363 legislator terjerat korupsi. Fakta ini menunjukkan betapa rentannya lembaga ini menjadi ladang korupsi yang dilegitimasi kekuasaan partai.

Lebih jauh, aspirasi rakyat kerap tersaring dan tereduksi oleh agenda partai sebelum memasuki proses legislasi. David Easton menggambarkan sistem politik sebagai proses input-output.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4

Komentar

Loading...