Masyarakat Korban, Polisi Bawahan Tersandera Atasan

Nadhir Wardhana Salama

Prinsip Rastra Sewakottama – abdi utama bangsa dan negara seharusnya menjadi pedoman moral. Tetapi, bagi banyak polisi, prinsip itu hanya tinggal slogan. Nyatanya, loyalitas pada atasan lebih kuat daripada pengabdian kepada rakyat.

Inilah yang membuat polisi bawahan rentan jadi alat, bukan pelindung. Dan sekali lagi, ketika atasan menyalahgunakan kewenangannya, bawahan yang menanggung risiko terbesar—baik secara fisik, psikologis, maupun sosial.

Di titik ini, jelas sekali bahwa problemnya bukan sekadar “oknum.” Yang kita hadapi adalah kegagalan sistemik, salah satunya kegagalan akademik kepolisian. Akademi dan sekolah perwira gagal melahirkan polisi profesional.

Pendidikan kepolisian lebih menekankan kepatuhan buta dan teknik represif, ketimbang etika, HAM, manajemen konflik, atau komunikasi. Hasilnya, aparat lebih cepat mengangkat tameng dan pentungan daripada mengedepankan dialog.

Budaya feodal yang mengakar membuat polisi tidak tumbuh sebagai profesional, melainkan serdadu yang takut pada perintah, bukan pada hukum.

Reformasi kepolisian karena itu bukan sekadar slogan perubahan. Bagi kami, keluarga dan teman polisi, reformasi adalah tuntutan untuk keselamatan mereka.

Polisi bawahan butuh perlindungan hukum agar bisa menolak perintah yang menyimpang. Perwira butuh akuntabilitas ketat agar kewenangan tidak lagi bisa dipakai sewenang-wenang.

Dan akademi kepolisian butuh reformasi serius agar benar-benar melahirkan abdi negara yang profesional, bukan hanya prajurit yang setia pada komando.

Reformasi sistem kepolisian sejatinya adalah upaya menyelamatkan dua pihak sekaligus: masyarakat yang sering menjadi korban tindakan represif, dan polisi bawahan yang sering jadi korban kesewenangan perintah.

Tanpa perubahan mendasar, seragam cokelat itu hanya akan terus membebani mereka yang memakainya di lapisan bawah, sembari menambah jarak dengan masyarakat yang seharusnya mereka lindungi. (*)

Selanjutnya 1 2

Komentar

Loading...