Ekstraksi adalah Genosida

Oleh: M. Eko Duhumona
(Pegiat Pilas Institute)
Maluku Utara saat ini mengalami pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Pada kuartal pertama tahun 2025, pertumbuhannya mencapai 34,58 persen angka tertinggi di seluruh Indonesia. Bahkan, tahun lalu juga mencatat angka ekstrem sebesar 27,27 persen.
Semua ini didorong oleh pengembangan sektor pertambangan serta industri pengolahan nikel. Data PDRB menunjukkan angka yang luar biasa: Rp95,8 triliun, sementara pendapatan per kapita mencapai Rp70,7 juta.
Baca Juga: Merefleksi Indonesia Lewat Foucault
Namun, di balik semua angka tersebut, ada pertanyaan penting: siapa yang benar-benar merasakan manfaat dari pertumbuhan ini?
Bagi sebagian besar masyarakat adat, nelayan, dan petani di Halmahera dan sekitarnya, pertumbuhan ini tidak berarti kesejahteraan. Mereka justru menjadi korban dari proyek-proyek pembangunan yang diklaim untuk kepentingan masyarakat.
Mereka kehilangan tanah, laut, dan tempat tinggal. Mereka terpinggirkan demi pembangunan jalan tambang, smelter, pelabuhan ekspor, dan pabrik pengolahan yang tidak mereka nikmati. Semua ini dilakukan dengan cara yang sistematis mungkin legal berdasarkan hukum, namun sangat brutal dari segi moral.
Baca Juga: Koran Digital Malut Post edisi, Selasa 9 September 2025
Kata "ekstraksi" sering dianggap sebagai istilah yang netral. Proses teknis ini diartikan sebagai pengambilan kekayaan alam untuk pembangunan.
Namun di Maluku Utara, ekstraksi lebih dari sekadar pengambilan sumber daya alam. Ini adalah bentuk kekerasan struktural yang menghancurkan komunitas dari akar. Ini adalah jenis kolonialisme baru, dengan negara dan perusahaan mengambil alih tanah yang telah dirampas.
Baca Halaman Selanjutnya..
 





 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Komentar