Meluruskan Makna Coka Iba dalam Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW

Aton Bagaskara Jafar

Bahkan ultraman dari karet. Coka Iba pecek yang dahulu dibuat dari tanah kini diganti dengan oli bekas. Penyimpangan ini jelas mereduksi nilai filosofis yang telah diwariskan turun-temurun.

Lebih jauh, bukan hanya bentuk topeng yang berubah, tetapi juga perilaku masyarakat pada saat perayaan. Ironisnya, peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang seharusnya menjadi momentum meneladani akhlaknya, justru diwarnai praktik yang bertentangan dengan ajaran beliau.

Laki-laki menyerupai perempuan, perempuan menyerupai laki-laki, batas aurat tidak diperhatikan, bahkan waktu shalat kerap diabaikan. Ini adalah bentuk kemunduran yang sangat memprihatinkan, karena merusak esensi Maulid itu sendiri.

Refleksi: Meluruskan Tradisi dengan Nilai Islam

Sebagai bagian dari identitas budaya, Coka Iba perlu terus dilestarikan. Namun, pelestarian itu tidak boleh hanya sebatas bentuk luar, melainkan juga harus menekankan pada nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Unsur api, air, angin, dan tanah seharusnya menjadi pengingat akan keterbatasan manusia dan kebesaran Allah SWT. Sementara bentuk Coka Iba yang mencerminkan perjumpaan lintas budaya adalah bukti bahwa Islam hadir dengan semangat persaudaraan dan keterbukaan.

Dengan demikian, masyarakat Gamrange perlu mengembalikan Coka Iba ke makna aslinya: sebagai simbol kegembiraan alam raya atas kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Perayaan Maulid tidak boleh sekadar menjadi ajang hiburan, apalagi sampai melanggar syariat. Justru, ia harus menjadi ruang untuk mempertebal iman, memperkuat ukhuwah, serta meneladani akhlak Nabi.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4

Komentar

Loading...