Membaca Ketidakaturan (Chaos) Negara

Abdullah Karmadi

Kematian seorang Affan, ojol yang di lindas mobil Brimob membakar amarah public secara spotan dan kantor polisi serta gedung DPRD banyak terbakar.

Jika ia demikian, lantas siapa yang harus bertanggung jawab atas chaos yang terjadi, apakah Pemerintah dan DPR atau Polri? Sementara lembaga negara ini sudah tidak lagi di percaya oleh publik. Dan perjuangan para demostran mau diarahakan ke mana?

Menurut Habermas, krisis legitimasi negara muncul ketika sistem politik tidak lagi mampu menjawab tuntutan masyarakat. Sementara itu, Gramsci menyebut masa krisis sebagai “interregnum”: ketika yang lama belum mati, tetapi yang baru belum lahir.

Dalam konteks ini, kekacauan bukan sekadar kegagalan, melainkan ruang kontestasi tempat berbagai ide dan kekuatan sosial berkompetisi menentukan arah baru.

Tentu jika kita memakai kacamata Habermas, ketiga lembaga negara tersebut Pemerintah, DPR dan Polri mengalami krisis legitismasi di ruang public.

Namun, ketika kita memaknai ini dalam pendekatan pandangan Gramsci, interregnum maka konflik yang piuer lahir dari gerakan public, bisa jadi dimanfatkan oleh kelompok tertentu yang ia sebut sebagai kekuatan sosial berkompetisi menentukan arah yang baru.

Dengan meminjam analogi hukum perpindahan dalam fisika, negara yang sedang kacau bisa dianalogikan sebagai benda yang terus bergerak, tetapi tidak mengalami perpindahan signifikan karena gaya yang bekerja saling meniadakan.

Dan tentutnya untuk memindahkan benda dalam konotasi kekuasaan negara pastinya harus ada narasi usaha dan “mungkin” kelompok-kelompok tertentu yang menjadi aktor dan memanfaatkan stuasi chaos saat ini.

Oleh karena itu, untuk menarasikan kembali defenisi tentang sebuah negara tentunya, negara harus diarahkan pada pembentukan gaya dominan berupa visi kolektif-misalnya penguatan demokrasi substantif, pemerataan kesejahteraan, dan konsolidasi keadilan sosial. (*)

Selanjutnya 1 2 3 4 5

Komentar

Loading...