Tercekik Jerat Pajak

Fasilitas Mewah untuk Rakyat
Barkaca pada beraneka macam pajak yang harus dibayarkan rakyat kepada negara, sudah seharusnya rakyatlah yang layak mendapatkan fasilitas mewah.
Sri Mulyani sempat membandingkan pajak di negara kita dengan negara-negara di Skandinavia. Di Skandinavia potongan pajak bisa mencapai 55, 58, hingga 63 persen. Akan tetapi, Menteri Keuangan sepertinya lupa bahwa potongan pajak yang besar itu setara dengan fasilitas yang diterima oleh penduduknya.
Di sana para pejabat publik bekerja tanpa ajudan, tanpa pengawal, mereka tinggal di rumah sendiri, menanggung air sendiri, listrik sendiri, dan tidak ada mobil dinas yang mewah. Bahkan, saat beraktivitas mereka berangkat menggunakan sepeda, kereta, atau transportasi umum lainnya.
Sistem perpajakan harus terus dibenahi. Pemerintah dan aparaturnya tidak boleh lupa, bahwa gaji mereka didapatkan dari rakyat yang membayar pajak. Oleh karenanya, segala kebijakan yang diambil harus menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat.
Paradigma masyarakat tentang pajak harus bisa dirubah. Perubahan itu tentu bisa terjadi saat pemerataan kesejahteraan yang selama ini masih menjadi impian mampu terwujud.
Kebijakan kenaikan target pajak adalah pertaruhan besar. Jika berhasil, Indonesia bisa memperkuat fondasi fiskalnya dan memperluas pembangunan. Namun jika tidak, tekanan terhadap dunia usaha dan masyarakat bisa meningkat.
Pajak sudah seharusnya menjadi alat gotong royong, bukan jerat yang mencekik. Ketika sistemnya adil dan transparan, masyarakat akan lebih rela berkontribusi. Ketika rasa kerelaan itu terbangun, maka pajak yang selama ini dibayarkan bukanlah sekadar angka di laporan.
Pajak menjadi cerminan hubungan antara rakyat dan negara. Pajak bukan lagi sekadar kewajiban, tapi juga harapan. Harapan bahwa setiap rupiah yang disetor akan kembali dalam bentuk jalan yang layak, sekolah yang berkualitas, dan layanan kesehatan yang memadai.(*)
Komentar