Halmahera Tengah: Kolonial Plastik di Tanah Merdeka

Setelah ditelusuri, sumber utama timbulan ini justru datang dari perilaku karyawan tambang nikel PT IWIP yang setiap hari melintas.
Sampah ditinggalkan begitu saja di jalan raya yang mestinya jadi nadi penghubung antarwilayah. Ironis, jalan yang seharusnya jadi simbol pembangunan, justru jadi halaman depan kolonial plastik.
Berbeda lagi dengan Patani dan Gebe. Di sana, tren membuang sampah ke laut masih sangat tinggi. Plastik sekali pakai yang dibawa dari rumah, pasar, kantor dan sekolah harus berakhir di laut biru yang dulu jadi kebanggaan.
Gelombang laut yang mestinya memantulkan kebersihan, kini jadi arus yang menyeret plastik ke pesisir. Kolonial plastik di sini mengambil bentuk paling muram, merampas laut dari identitas masyarakat pesisir.
Sementara di Kota Weda dan Wairoro, wajah kolonial plastik menjelma melalui TPS liar. Tumpukan sampah tanpa pengelolaan terlihat di pinggir jalan, kebun, bahkan dekat pemukiman.
TPS liar ini bukan sekadar tempat pembuangan, tapi juga simbol ketidakberdayaan kolektif dalam mengatur sampah. Tidak ada kesepakatan bersama, tidak ada penegakan norma hanya kompromi sunyi yang seolah berkata: “biarkan saja di situ.”
Pemerintah tentu punya peran penting untuk memutus cengkeraman kolonial plastik. Regulasi yang tegas tapi kontekstual harus lahir, bukan sekadar larangan, melainkan aturan yang memberi alternatif. Pasar tradisional, misalnya, bisa diarahkan memakai wadah anyaman atau kantong kain.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar