Halmahera Tengah: Kolonial Plastik di Tanah Merdeka

Faizal Ikbal

Mereka berhasil mendigte dan menancapkan cengkeramanya lewat gaya hidup instan, ekonomi pasar, dan minimnya kesadaran kolektif.

Di pasar, plastik sekali pakai adalah ‘’ mata uang kedua ‘’ yang tak pernah habis. Setiap belanja, setiap transaksi, selalu ada plastik baru yang pulang bersama kita. Ia tidak terlihat sebagai musuh, malah dianggap teman karena praktis dan murah.

Baca Juga: IMS-ADIL, dan Gestur Politik Perempuan

Parahnya lagi, perilaku membuang sampah sembarangan masih tetap dianggap hal sepeleh, Ini sebenarnya paket lengkap bom waktu ekologis yang diwariskan ke generasi berikutnya.

Dari data Goodstats (2024) menemukan ada 26,6% masyarakat Indonesia mengaku pernah membuang sampah sembarangan di tempat umum, dan 25% lainnya melakukannya di sekitar rumah. Ini masalah serius dan bukan teknis semata, ini soal mentalitas yang belum berubah.

Membiasakan “dumping plastik sembarangan” ini semakin memperkuat kedigdayaan kolonial plastik. Bayangkan saja, 42,9% responden hanya membuang sampah pada tempatnya tergantung situasi, sementara 7% jarang dan 1,2% bahkan tidak pernah membuang pada tempatnya sama sekali. kita sedang melihat wajah terang perilaku kolektif yang membuat kolonial plastik gampang bertahan.

Jika kita turun langsung ke lapangan, wajah kolonial plastik di Halmahera Tengah ternyata tidak seragam. Mereka punya medan dan pola serangan masing-masing bergantung pada siapa “kaki tangan koloni plastik” yang tanpa sadar jadi penyokongnya.

Di ruas jalan Lelilef–Lukolamo–Sagea, misalnya, tumpukan plastik menyeruak begitu saja di sisi jalan. Dari kantong kresek, botol air mineral, hingga kemasan instan semua berceceran tanpa tedeng aling-aling.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4

Komentar

Loading...