Bom Waktu di Balik Food Waste
Oleh: Ningsi Defretes
(Ketum Himalogista Unkhair dan Anggota Forum Studi Independensia)
Problem sampah tidak pernah beres dibahas saat ini. Nyaris tak ada solusi yang ampuh untuk ditangani. Bahkan semacam hal lumrah, sehingga sebagian orang jenuh meladeni. Kendati begitu, tetap harus diperbincangkan agar menjadi perhatian kita bersama.
Kita tahu, bahwa sampah sesuatu yang tidak terpakai, atau tidak berguna. Dimana, sampah berasal dari sisa manusia atau proses alam bisa berupa padat, cair, gas. Bukan hanya sampah nonorganik yang bermasalah: plastik yang sulit terurai dan bikin jengkel mengotori setiap sudut kota.
Baca Juga: Masih Perlukah Perda Tentang Sampah
Tapi, sampah organik: sisa makhluk hidup yang mudah terurai secara alami, seperti kotoran hewan, atau daun-daunan yang dapat terurai, sering membuat kita resah.
Termasuk sampah sisa makanan atau food waste, yang mengusik benak. Sampah makanan yang sudah tidak dikonsumsi atau terbuang selama proses produksi, distribusi, hingga konsumsi. Ini sudah termasuk makanan yang masih layak dikonsumsi, tetapi tidak dimakan, atau makanan yang sudah busuk atau rusak.
Food waste memang berasal dari diri kita, yang kerap abai dan egois. Produksi sampah yang dihasilkan bikin geleng-gelang kepala.
Baca Juga: Koran Digital Malut Post Edisi 12 Agustus 2025
Betapa tidak, di Indonesia menurut laporan Food Faste Indeks Report 2024 yang disusun United Nations Environment Programe (UNEP) diperkirakan menghasilkan 14,73 juta ton sampah makan pertahunnya.
”Jumlah itu jauh lebih banyak dibandingkan negara-negara tetangga seperti Thailand (6,18 juta ton), Myanmar (4,22 juta ton), Filipina (2,95 juta ton). Sementara itu, sampah makanan perkapita di Indonesia sendiri mencapai 53 kg per kapita per tahun.” (Tirto.id, 19 Maret 2025).
Baca Halaman Selanjutnya..