Menggali Makna Rurehi sebagai Wajah Budaya Waiboga
Oleh: M. Eko Duhumona
Ketua Umum OKK Waiboga-Umaga Periode 2024-2025
Budaya tradisional merupakan fondasi dan identitas suatu komunitas, berfungsi sebagai penghubung antara masa lalu, sekarang, dan masa depan.
Di tengah kemajuan modernisasi yang terus bergerak cepat, sangat penting bagi kita untuk menelusuri kembali makna serta nilai-nilai yang ada dalam warisan budaya lokal.
Baca Juga: Gabalil Hai Sua, Tradisi yang Akan Dilupakan Orang Sula
Salah satu warisan budaya yang sarat dengan makna di Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara, adalah Rurehi atau perahu tradisional milik nelayan yang juga dijadikan tarian khas oleh masyarakat Waiboga. Rurehi pertama kali tiba di Kabupaten Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara, di pelabuhan sanana pada tahun 191.
Selama 16 Tahun merekan mulai mencari ikan biasa dalam bahasa daerah sanana disebut kena kawahi atau ikan roa, atau biasa desebut juga (Hemiramphus brasiliensis) adalah ikan umpan dari keluarga julung-julung (Hemiramphidae), Lalu mereka bepinda tempat di desa Waiboga pada tahun 1917.
Yang membawa rurehi itu adalah Bapak Hj. Musa, dan sampai saat ini Rurehi menjadi salah satu mata pencarian masyarakat desa waiboga.
Baca Juga: Koran Digital Malut Post Edisi 11 Agustus 2025
Hinnga dalam perjalan waktu rurehi dijadikan sebagai tarian atau biasa diseut (Tarian Rurehi), dalam tarian rurehi terdapat 8 sampai 10 orang yang memperagakan bagaimana aktivitas mulai dari pemantauan ikan, mebuang jaring, tarik jaring, dan pengangkutan ikan dalam rurehi (perahu) dll, semua itu diperagakan dalam tarian tersebut.
Perahu tradisional seperti Rurehi tidak sekadar berfungsi sebagai alat transportasi atau sarana menangkap ikan. Perahu ini adalah simbol penting yang merefleksikan kebijaksanaan lokal, keberanian, dan perjuangan komunitas pesisir dalam mempertahankan kehidupan serta budaya mereka.
Baca Halaman Selanjutnya..