Laut Wayatim Bukan Sasaran Bom

Ada juga kisah lain. Seorang pemuda Wayatim yang kehilangan pergelangan tangan kanannya saat mencoba praktik serupa pada 2022. Sejak itu, laut yang dulu ia pandang penuh kasih berubah menjadi trauma.
Apa yang menimpa pada lelaki tersebut menunjukkan tak hanya relasi dengan laut yang rusak, lebih dari situ, hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
Mengapa praktik ini terus berulang? Karena tak ada kontrol. Pemerintah desa Pigaraja-Wayatim tak tegas, pos jaga laut tidak ada, aparat penegak hukum absen, dan pemerintah daerah tampak diam.
Lihat 21 April 2018, mahasiswa KKLI IAIN Ternate bersama pemuda Wayatim mengadakan seminar dengan tema “Pelestarian Laut, Penanggulangan Bahaya Laten Bius dan Pengeboman Ikan”.
FORPMASI juga telah menyuarakan potensi ekologi laut dan ancamannya. Semua itu, sampai hari ini, bom tetap meledak, dan laut terus menangis.
Namun kita jangan cepat menyimpulkan, apalagi menyalahkan pelaku. Di balik ledakan itu, ada jeritan. Jeritan kemiskinan, keterdesakan, dan kelalaian kolektif.
Perkara ini tak bisa dibaca sebagai teknik menangkap ikan yang efisien semata, dan kerap kali dijadikan tempat “pelarian” mereka atas runtuhnya harapan hidup di daratan yang tak memberi pilihan lain selain daripada bom ikan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar