Laut Wayatim Bukan Sasaran Bom

Yoesran Sangaji

Ledakan demi ledakan terjadi jelang magrib, kadang di pagi hari. Pelakunya bukan kapal industri asing, melainkan warga desa tetangga, Pigaraja.

Ini bukan perkara baru. Dalam catatan saya, Mei 2025 pun sudah terjadi hal demikian. Dengan kata lain, luka ini telah lama menetap di tubuh laut.

Sejak sebelum 2014, wilayah pesisir Waho, Datapu, Rep Para-Para, Rep Pelo-Pelo, pulau Paniki, hingga Tanjung Pinang dihantam bom. Ikan Oci – kebanggaan dapur dan sumber gizi orang Wayatim – jadi korban utama.

Di sini, tidak saja Oci. Karang, jenis ikan lain, dan seluruh ekosistem laut remuk tanpa ampun. Luka-luka dari tahun ke tahun itu tak hanya luput dari catatan negara – bahkan hukum dan kuasa daerah pun memilih membutakan mata pada kenyataan yang terus berlangsung.

Saya berusaha mengenali salah satu pelaku – dikenal warga tempatan dengan julukan “popo” (tangannya terputus). Namanya muncul dari rekomendasi informan lain dalam riset saya soal konflik sosial berbasis tanah antara Pigaraja dan Tomara.

Saya mendatangi rumahnya suatu malam, seusai Isya. Ia terbaring sakit. Beberapa hari kemudian, dirujuk ke RSUD Halmahera Selatan melalui transportasi laut menuju Pelabuhan Babang, lalu ke Marabose. Dua hari berikutnya, ia kembali ke kampungnya.

Di samping menemui informan yang lain, saya diam-diam mendoakannya – untuk bisa bersama dan berbagi pengalaman. Kurang lebih satu minggu, ia dipanggil pulang selamanya. Bukan karena bom ikan, melainkan “Maha Kuasa” lebih sayang kepadanya. Ia wafat pada Mei 2024.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5

Komentar

Loading...