“Balas Pantun” DOB Sofifi

Bachtiar S. Malawat

Sofifi tampaknya hendak digiring pada pola yang sama, yaitu pemekaran tanpa pijakan yang cukup kuat secara budaya, ekonomi, sosial maupun kulturalnya.

Penulis menyadari betul bahwa Sofifi memang menyandang status ibu kota provinsi Maluku Utara secara hukum sejak UU No. 46 Tahun 1999. Namun, hingga dua dekade kemudian, wajahnya lebih mirip kota transisi, bagaikan ekperimen yang dilakukan elit untuk uji coba ketimbang pusat pemerintahan yang jelas.

Baca Juga: Implementasi Pendidikan Inklusif, Antara Paradigma Humanistik dan Realitas Struktural

Infrastruktur jalan masih timpang, layanan dasar tidak merata, dan akses transportasi dari wilayah lain sangat terbatas. Menjadikan Sofifi sebagai DOB tanpa mengatasi persoalan mendasar justru akan memperparah beban anggaran provinsi.

Data dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menunjukkan, biaya pemekaran satu DOB dapat menelan Rp250 hingga Rp500 miliar per tahun hanya untuk belanja rutin birokrasi. Di tengah defisit fiskal Maluku Utara yang semakin lebar, lantas, dari mana semua ini akan ditutup?

Baca Juga: Menakar DOB Sofifi dari Urgensi Sampai ke Aspek Bahasa

Bagi Penulis, argumentasi budaya juga menjadi hal yang krusial yag perlu dipertimbangkan, namun argumentasi ini kerap dikesampingkan seolaholah dan seakan-akan.

Sofifi berada dalam konteks kultural Kesultanan Tidore, sebuah wilayah yang sejak zaman kolonial memiliki relasi historis dan simbolik dengan kekuasaan tradisional.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5 6

Komentar

Loading...