(Budaya dan Pendidikan di Halmahera Timur)

Disrupsi Budaya: Gemerlap di Luar, Rapuh di Dalam

Muhammad Wahyudin

Di dunia digital hari ini, kebutuhan akan pengakuan itu tidak lagi dipenuhi melalui dialog atau pencapaian kultural, melainkan oleh angka-angka algoritmik seperti likes, views, dan followers. Akibatnya, banyak orang termasuk di daerah-daerah lebih memilih tampil “kekinian” daripada menyuarakan identitas lokal mereka sendiri.

Pernyataan Ali Khamenei dalam buku Perang Kebudayaan (Nur Al-Huda, 2023) memperkuat kritik ini. Ia menyatakan bahwa masyarakat tidak boleh berinteraksi dengan budaya populer seolah-olah tanpa latar belakang atau identitas.

Dalam konteks Halmahera Timur, masyarakat tidak boleh melepaskan diri dari nilai-nilai adat dan spiritualitas hanya demi mengikuti budaya luar yang belum tentu selaras dengan kearifan lokal.

Alih-alih menjadi alat emansipasi, teknologi digital kini menjelma sebagai instrumen kontrol. Dalam jaringan big data dan algoritma, masyarakat justru semakin kehilangan otonomi berpikir dan bertindak.

Mereka tidak lagi menjadi subjek, melainkan objek dari sistem yang dirancang untuk menciptakan ketergantungan, bukan pembebasan.

Masalah utama bukan terletak pada eksistensi budaya populer itu sendiri, tetapi pada cara kita baik sebagai individu, masyarakat, maupun negara memaknai dan mengelolanya.

Ketika budaya sepenuhnya tunduk pada mekanisme pasar, maka kreativitas dan nilai akan terus dikompromikan demi selera massa. Budaya tidak lagi mendidik, tetapi hanya menghibur. Pendidikan tidak lagi membebaskan, melainkan melanggengkan kepatuhan.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5

Komentar

Loading...