(Budaya dan Pendidikan di Halmahera Timur)

Disrupsi Budaya: Gemerlap di Luar, Rapuh di Dalam

Muhammad Wahyudin

Pendidikan seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga warisan budaya ini. Namun faktanya, sistem pendidikan yang berlaku justru turut mempercepat pemutusan generasi dari budaya lokal.

Kurikulum sekolah nyaris tak memberi ruang bagi nilai-nilai lokal untuk tumbuh dan dikembangkan. Generasi muda lebih dikenalkan pada narasi nasional tunggal atau tren global ketimbang konteks budaya di sekitarnya.

Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Namun pertanyaannya, bagaimana mungkin kita bisa membentuk peradaban jika budaya lokal justru dilupakan atau bahkan dianggap tidak relevan?

Kondisi ini bisa dibaca melalui pemikiran Jean Baudrillard tentang simulacra, yaitu situasi ketika simbol atau representasi budaya tidak lagi merepresentasikan realitas, tetapi justru menggantikan realitas itu sendiri.

Dalam sistem ini, budaya bukan lagi produk kehidupan nyata, melainkan ilusi yang direproduksi demi selera pasar. Halmahera Timur pun mulai terseret dalam arus ini, di mana pertunjukan budaya hanya menjadi hiburan visual tanpa kedalaman makna.

Sementara itu, Georg Wilhelm Friedrich Hegel menyinggung dorongan eksistensial manusia untuk mendapat pengakuan melalui konsep sublasi.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5

Komentar

Loading...