(Budaya dan Pendidikan di Halmahera Timur)

Disrupsi Budaya: Gemerlap di Luar, Rapuh di Dalam

Muhammad Wahyudin

Oleh: Muhammad Wahyudin
(Mahasiswa Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan FKIP Unkhair Ternate)

Di tengah laju globalisasi dan kemajuan teknologi digital yang tak terbendung, budaya Indonesia, termasuk di Halmahera Timur, menghadapi tantangan eksistensial yang serius.

Budaya yang dulunya tumbuh dari akar-akar lokal dan dipelihara dalam ruang spiritual serta sosial, kini mengalami disrupsi hebat akibat penetrasi budaya populer yang sangat ditentukan oleh selera pasar dan logika algoritma.

Baca Juga: Meneguhkan Identitas Halmahera Timur di Tengah Arus Globalisasi

Budaya tampil meriah di permukaan, tetapi rapuh di dalam. Di sinilah kita menyaksikan bagaimana simbol-simbol budaya dikomodifikasi dan kehilangan maknanya yang hakiki.

Budaya populer hari ini tidak lagi menjadi medium ekspresi dan refleksi, melainkan berubah menjadi produk instan untuk kepuasan sesaat. Konten viral lebih disukai daripada pesan mendalam. Media sosial memperparah keadaan ini.

Fenomena “brain rot” yakni menurunnya daya berpikir akibat konsumsi informasi dangkal secara terus-menerus menjadi kenyataan yang tak bisa kita abaikan. Selebritas instan muncul bukan karena karya intelektual atau kontribusi budaya, melainkan karena berhasil menarik atensi digital secara masif.

Baca Juga: Koran Digital Malut Post Edisi 23 Juli 2025

Dalam konteks Halmahera Timur, gejala ini tampak dari semakin jauhnya generasi muda dari akar budaya mereka sendiri. Tarian Lalayon, sebagai warisan budaya masyarakat Halmahera Timur, kini lebih sering tampil dalam acara seremonial tanpa makna spiritual yang dulu menyertainya.

Hukum adat Halmahera Timur, yang selama ini menjaga harmoni sosial masyarakat, mulai tersisih oleh regulasi modern yang tak melibatkan nilai lokal dalam proses pengambilan keputusan.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5

Komentar

Loading...