Matinya “Meritokrasi”

Selain itu, kualitas sumber daya manusia juga menjadi penting diperbaiki, meningkatkan soft skill serta kompetensi tapi tidak juga melegitimasi praktik nepotisme dengan alasan keterbatasan Sumber Daya Manusia kita.
Sederhananya, mencari yang paling sedikit kekurangannya. Selain itu lemahnya pengawasan serta penegakan hukum yang sampai saat ini belum teratasi, membuat penyelewengan semakin menjadi jadi dan sulit terkontrol.
Lantas apa yang bisa diupayaka untuk sedikit memberi ruang agar meritokrasi tidak mati ditengah gempuran nepotisme yang tak ada habisnya ?
Meminjam kata dari Gail Sheeny seorang jurnalis di amerika, "Jika kita tidak berubah, kita tidak tumbuh. Jika kita tidak tumbuh, kita tidak benar-benar hidup."
Tentu membuat perubahan pada suatu sistem yang telah lama mengakar tidak semudah mencari madu ditengah kumpulan sarang lebah. Namun sesuatu yang keliru tak bisa terus didiamkan, karena bisa diklaim sebagai kebenaran.
Membuat sistem “meritokrasi” yang berkelanjutan, merupakan langkah panjang dimulai dari konsistensi mengubah sistem seleksi yang profesional berbasis kompetensi yang teruji.
Tentu tidak mudah di lakukan tanpa pengawasan serta penegakan hukum yang ketat serta mampu memberikan sangsi tegas terhadap pelaku nepotisme.
Meski sulit melakukan perubahan apalagi secara instan, tetapi usaha yang baik adalah melakukan hal perubahan bahkan dengan langkah terkecil sekalipun. Meminjam sebuah adagium “Kejahatan akan menang jika orang baik tidak melakukan apa – apa”. (*)
Komentar