Matinya “Meritokrasi”

Tentu ini bukan fenomena baru, karena tradisi ini sudah sekian kali dilakukan dan terus dipelihara hingga bertumbuh subur di indonesia.
Lantas bagaimana dengan maluku utara, provinsi terbahagia yang sementara kita tinggali ini? Saya agak tergelitik melihat isu isu hangat di beberapa media terutama dalam seleksi PPPK dimana istri pejabat yang tidak pernah jadi honor lolos seleksi PPPK.
Belum lagi penunjukan OPD yang memang tidak sesuai dengan kompetensi, karena terkesan melunasi beban politik. Serta perilaku titip menitip nama untuk sebuah pembagian “Kue kekuasaan” bukan hal lazim yang kita lihat.
Miris ? bisa dikatakan demikian.
Tapi bukan sampai disitu esensi tulisan ini dibuat. Mari kita ulas lebih dalam, secara praktis bagaimana “Karistokrasi” masih sangat mengakar kuat hingga menjadi tradisi di negeri kita ini. Yudha pradana (2025) memetakan beberapa indikator penting sulitnya penerapan meritokrasi di indonesia.
Pertama, Itervensi politik yang begitu kuat, keterbatasan sumber daya manusia, serta lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di negeri kita.
Tepat apa yang diutarakan oleh Yudha Pradana terutama soal intervensi politik. Fenomena ini sulit untuk diubah karena seperti jaring laba-laba, semua sistem saling berkaitan dan sulit dihentikan.
Politik balas budi, pendekatam emosional dan kekeluargaan dalam perekrutan di lingkup pemerintahan maupun swasta menjadi tren kita saat ini sehingga mengabaikan kualitas sumber daya manusia yang mungkin dimiliki seseorang namun tidak memiliki relasi erat dengan penguasa, atau orang yang merekrut.\
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar