Dilema Ketidakpastian Hukum

Jika demikian maka, bisa di konklusi dalam paradigma hukum ketatanegaraan di antara norma baik UU No. 46/1999 maupun UU No. 1/2003 tidak terdapat konflik normatif.
Namun sebaliknya jika terjadi Konflik normatif dalam wilayah administratif dimasa depan justru menjadi persoalan hukum yang serius dan penyelesaiannya tentu melalui kanal yang disediakan oleh konstitusi.
Betapa tidak kedudukan hukum UU No. 46/1999 dalam asas hukum penyelesaian konflik norma, UU No. 1/2003 dalam konteks kedudukan hukum Sofifi sebagai kelurahan lebih tinggi derajatnya dengan UU no. 46/1999d yang dalam paradigma hukum Hans Kelsen dikenal dengan istilah _Lex posterior derogat legi priori:
Baca Juga: Pemekaran Daerah: Kebutuhan atau Euforia Demokrasi?
Peraturan perundang-undangan yang baru berlaku mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lama. karena berbeda secara fungsi, kedudukan dan kekuatan hukum berkenan dengan status Sofifi. (baca: Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011).
Artinya penegasan pasal 9 ayat (1) Sofifi sebagai Ibukota provinsi maluku utara melalui UU No. 46/1999 terdistorsi dan tunduk pada ruang lingkup batas batas-batas UU No. 1/2003 yang mendominasi kelurahan Sofifi, kecamatan oba utara yang menjadi basis hukum administratif wilayah Kota Tidore Kepulauan.
Baca Juga: “City Manager”, Model Pendekatan Menejemen Kota Sofifi Pra “DOB”
Oleh karena itu, kunci segala ketidakpastian hukum soal status Ibukota Sofifi harus bermuara pada prosedur konstitusional yang menegaskan bahwa pembentukan daerah otonom diatur dengan Undang-undang, (baca: pasal 18 UUD NRI 1945).
Konsensus sebagai Alternatif
Wacana (discourse) tentang masa depan untuk menjadikan Sofifi sebagai sebuah kota otonom telah menimbulkan perdebatan panjang, polarisasi issue, ketidakpastian hukum dan tentunya menyita banyak perhatian publik maluku utara hari ini.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar