Implementasi Pendidikan Inklusif, Antara Paradigma Humanistik dan Realitas Struktural

Bachtiar S. Malawat

Lebih ironis lagi, banyak institusi pendidikan menggunakan narasi inklusi sebagai alat legitimasi politik atau proyek pencitraan. Sekolah-sekolah diberi label “sekolah inklusif” hanya karena menerima satu atau dua peserta didik berkebutuhan khusus, tanpa memperbaiki sistem internalnya.

Hal ini memperlihatkan bahwa inklusi direduksi menjadi kosmetika kelembagaan, bukan praktik pedagogis yang mendasar. Sebagai akibatnya, peserta didik yang seharusnya diberdayakan justru kembali menjadi objek baik objek belas kasihan maupun objek birokratisasi.

Pendidikan inklusif seharusnya menjadi jalan menuju transformasi sosial, bukan hanya reformasi kelembagaan. Namun, transformasi ini tidak mungkin tercapai tanpa pembongkaran struktur yang menindas.

Baca Juga: Refleksi Kritis Dunia Pendidikan

Paulo Freire mengatakan bahwa pendidikan harus membantu manusia menyadari realitasnya (conscientization) dan bertindak mengubahnya.

Maka pendidikan inklusif yang sejati harus mendorong semua aktor pendidikan guru, murid, kepala sekolah, orang tua, bahkan pemerintah untuk membaca ulang realitas ketimpangan dan melakukan tindakan emansipatoris.

Transformasi bukan hanya soal “memasukkan” peserta didik ke dalam sistem, tapi soal mengubah sistem agar bisa menerima dan melayani mereka secara adil.

Dalam kerangka tersebut, penting untuk mengingat bahwa pendidikan inklusif tidak bisa dilepaskan dari perjuangan struktural yang lebih besar, melawan kemiskinan, memperluas akses layanan dasar, menghapus diskriminasi, dan membangun kesadaran kritis kolektif.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5

Komentar

Loading...