Meneguhkan Identitas Halmahera Timur di Tengah Arus Globalisasi

Muhammad Wahyudin

Melalui cara pandang inilah, budaya lokal sering kali dianggap inferior. Antonio Gramsci menamainya dengan istilah hegemoni budaya, yaitu kekuasaan yang bekerja secara halus melalui nilai, norma, dan cara berpikir, bukan melalui kekerasan.

Dalam konteks Halmahera Timur, hegemoni ini sangat nyata. Budaya asing mengalir deras melalui televisi, media sosial, internet, dan pola pendidikan yang menjauh dari konteks lokal.

Ironisnya, kaum terpelajar yang seharusnya menjadi penjaga nilai dan penghubung antara pengetahuan modern dan kearifan lokal, justru seringkali terjebak dalam menara gading akademik.

Baca Juga: Tranformasi Fagogoru sebuah Visi Ikram M. Sangaji

Mereka lebih nyaman mengutip teori Barat daripada menyelami akar budaya lokal masyarakatnya sendiri. Akibatnya, terjadi jarak sosial dan intelektual antara kaum terpelajar dan rakyat.

Ali Syariati, seorang pemikir revolusioner dari Iran, menyebut manusia tercerahkan sebagai mereka yang mampu keluar dari belenggu ketakutan dan ketidaktahuan menuju kematangan akal dan kesadaran sejarah.

Pencerahan, menurutnya, adalah proses membebaskan diri dari ketergantungan, baik terhadap tradisi yang membatu maupun terhadap kekuasaan hegemonik yang menindas. Manusia yang tercerahkan adalah mereka yang sadar akan tanggung jawab sosialnya untuk melakukan perubahan.

Sayangnya, banyak masyarakat kita justru terjebak dalam fanatisme, taklid buta, dan kebiasaan bergantung pada kekuatan eksternal. Mereka membiarkan dirinya dijajah secara ideologis dan kultural.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5

Komentar

Loading...